KERAJAAN TALAGA: MELACAK JEJAK BUJANGGA MANIK (5) IBU KOTA TALAGA WALANGSUJI ITU DI MANA?

Tatang M. Amirin; 7 Januari 2011

MELACAK IBU KOTA KERAJAAN TALAGA: DI MANA “WALANGSUJI”?

(Tulisan ini merupakan potongan dari “Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik” yang terlampau panjang sehingga membuat capai yang membaca. Nomor tulisan hanya sekedar mengambil tengah-tengah dari 1-9, nomor lainnya sambil jalan diisi Yang tengah ini sengaja diisi lacakan tentang ibu kota Kerajaan Talaga, khususnya Walang Suji yang disebut-sebut Bujangga Manik alias Prabu Jaya Pakuan).

A. Ibu Kota Talaga: Sangiang, Walang Suji, Parung, atau Talaga?

1. Parung: Yakin pernah di Parung?

Kerajaan Talaga yang beribukota Walang Suji (menurut versi Bujangga Manik) itu berada pada akhir abad XV atau awal abad XVI. Jadi, itu berada kira-kira antara 1475 – 1525. Masa siapakah yang menjadi raja ketika itu? Prabu Talaga Manggung, Ratu Simbar Kancana, Sunan Parung, Ratu Parung? Perhatikan tulisan berikut, dan sangat banyak tulisan serupa–entah siapa mengkopipaste siapa–di internet, mengenai kerajaan Talaga yang ada tahunnya.

Sepeninggal Ratu Simbarkancana (putri Talaga Manggung–Pen.), Kerajaan Talaga dipegang oleh putera sulung beliau yang mendapat julukan Sunan Parung (1450 M). Setelah Sunan Parung mangkat, pemerintahan diserahkan kepada satu-satunya puteri beliau yang bernama Ratu Dewi Sunyalarang (1500 M) yang di kemudian hari mendapat julukan Ratu Parung.
Dewi Sunyalarang (Ratu Parung) menikah dengan Raden Ragamantri, putera Prabu Mundingsari Ageung dari Ratu Mayangkaruna. Raden Ragamantri adalah cucu dari Begawan Garasiang dan juga cucu dari Prabu Siliwangi II (Jaya Dewata atau Pamanah Rasa). Pada masa pemerintahan Dewi Sunyalarang inilah pusat kerajaan dipindahkan ke Parung.

Batu Nisan Makam Ratu Simbarkancana (?): Perlu ditelusur!

Bahasan terhadapnya sebagai berikut:

Pertama, patut dipertanyakan perpindahan ibu kota Kerajaan Talaga ke Parung dari Walangsuji yang baru dilakukan oleh Ratu Parung, bukan oleh Sunan Parung, ayahnya.  Jelas itu menyalahi logika. Sunan Parung, siapapun nama aslinya, sebagai pendahulu Ratu Parung (Ratu Sunyalarang), akan disebut Sunan Parung tentu karena ia memerintah di Parung, atau wafat dan dimakamkan di Parung, atau dibesarkan di Parung. Jadi, kalau toh ada perpindahan ibu kota Kerajaan Talaga ke Parung, mestinya mulai Sunan Parung, bukan mulai Ratu Parung, putrinya.

Sebagai catatan, “parung” itu diartikan beragam. Ada yang menyebut parung itu bagian dari sungai yang dangkal, atau aliran sungai yang ada bagian dangkalnya. Ada yang menyebutnya sama dengan jeram. Ada pula yang menyebutnya sebagai air terjun.

Dalam Kamus Jawa Kawi Indonesia, Maharsi mengartikan parung (yang sudah digunakan sejak “masa Kawi”) sebagai jurang, dan ada yang “melengkapinya” sebagai jurang yang tidak begitu dalam. Itu berarti sama makna (sinonim) dengan lurah. “Lurah”, selain nama jabatan pemerintahan, berarti pula jurang yang tidak begitu dalam.

Sunan Parung, Ratu Parung dan Raden Panglurah berarti sama-sama “berada” (berdiam, dibesarkan, memimpin, atau dimakamkan) di sesuatu tempat yang merupakan jurang, mungkin lembah. Di manakah itu? Masih belum terlacak. Dari “google map” tidak tertemukan ada kampung yang ada nama parungnya di sekitar Talaga sekarang. Ada juga desa Parung di Kecamatan Darma, Kuningan. Apa mungkin dahulunya wilayah Kerajaan Talaga sampai ke sebelah situ?

2. Sunan Parung (Sunan Corenda): Sangiang atau Sumedang

Kembali ke ibu kota Kerajaan Talaga. Jadinya, mungkin saja ibu kota kerajaan tetap, entah di mana, tidak dipindahkan ke Parung, tetapi Sunan Parung dan Ratu Parung dimakamkan di Parung (akan tetapi, kalau betul-betul benar, ini kontroversi dengan keberadaan makam Sunan Parung di Situ Sangiang–akan dibahas di belakang).

MAKAM SUNAN PARUNGMakam Sunan Parung (Parunggangsa?) di Situ Sangiang

Sunan Gunung Jati pun disebut Sunan Gunung Jati setelah wafat dan dimakamkan di Gunung Jati. Artinya, jika dalam babad-babad selalu disebut Sunan Gunung Jati, itu karena babad ditulis kemudian, setelah gelar diberikan. Perhatikan nukilan ini.

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.

Kedua, tahun yang dicantumkan untuk masa-masa pemerintahan “Dua Parung” sama sekali tidak cocok dengan Wawacan Bujangga Manik. Sunan Parung memerintah tahun 1450 di Parung, dan Ratu Parung memerintah tahun 1500 di Parung. Padahal saat dikunjungi Bujangga Manik akhir abad XV (anggap tahun 1475-an sebagai tebakan, untuk tidak dikatakan awal abad XVI), Talaga itu ibu kotanya Walang Suji, bukan Parung. Dalam umumnya tulisan “sejarah” Talaga, hanya pada masa Simbar Kancana Talaga beribu kota di Walang Suji. Itu berarti sebelum “Dua Parung” tersebut memerintah (sebelum 1450 M. menurut versi di atas; katakanlah tahun 1425-an)–dan tahun-tahun itu bertentangan dengan versi Bujangga Manik (1475-an) yang menyebut Walang Suji.

Sekali lagi,  ada kemungkinan, walau yang menjadi raja atau ratu berjulukan Sunan dan Ratu Parung, tidak berarti ibu kota Talaga pindah dari Walang Suji ke Parung, melainkan tetap di Walang Suji. Mungkin karena banyak menghabiskan waktu di Parung dalam didikan entah “bagawan” siapa, maka disebut Pangeran Parung dan Putri Parung (sesebutan “sunan” juga agak aneh, karena belum musim di masa itu–sebutan itu muncul masa para wali–Lagi-lagi ini kemungkinan karena ditulis kemudian). Ini sama dengan sebutan Ki Gedheng Sindang Kasih (“Ki Gede ing Sindangkasih”?–Pen.) ayah Nyi Ambet (Rambut) Kasih yang memerintah di Kerajaan Surantaka, “Cirebon,” bukan di Sindang Kasih, Beber.

Jika dimakamkan di Parung, ada ketidakberesan “sejarah” dengan keberadaan makam Sunan Parung yang dipercaya ada di Situ Sangiang, walaupun dalam “ceritera”  lain itu sebenarnya tokoh penyebar agama Islam di Talaga, bukan Sunan Parung. Jadi, harus dipertegas terlebih dahulu, makam Sunan Parung (Hindu), ataukah makam Sunan Parunggangsa alias Raden Ragamantri (Islam).

Kemungkinan kedua, tahunnya yang salah. Tahun yang sekedar asal comot, karena yang lainnya tidak disebut-sebut masa pemerintahannya, sehingga sulit sekali untuk meruntutkannya (karena tidak ada prasasti atau “candrasangkala” apapun).

Sebagai catatan: Konon Kerajaan Talaga beribu kota Walang Suji pada masa pemerintahan Ratu Simbar Kancana, putri Prabu Talaga Manggung, ibu Sunan Parung dan Ratu Parung. Konon (menurut mimpi penulisnya[?!] di Walang Suji hanya sapanyeupahan (sekali menginang) atau dalam istilah “pemimpi” sapanguluban waluh--selama waktu diperlukan untuk menggodog labu siam), alias sangat sebentar sekali; yaitu tujuh tahun  tiga bulan. Ini jelas bukan fakta sejarah akurat, karena cuma dari “mimpi bertemu  “Eyang” Simbar Kancana.”

Mari kita lihat “dongeng” Talaga Manggung seperti dikisahkan dalam Wawacan Talaga Manggung (“satu-satunya” sumber utama rujukan Kerajaan Talaga).  “Sunan” Talaga Manggung mengambil seorang kesatria yang bernama Palembang Gunung dari Cirebon menjadi menteri dan menantunya. Tahun berapa ada Cirebon? Cirebon yang mana?

Ketika Walang Suji dan Talaga disebut-sebut Bujangga Manik, Cirebon tidak disebut. Padahal Cirebon (Caruban) “didirikan” oleh orang-orang Galuh, oleh keluarga Raja Pajajaran (Ki Gedheng Sindang Kasih, Ki Gedheng Tapa, Ki Gedheng Alang-Alang, Raden Walangsungsang dll.)  yang sebagian tentu beragama Hindu-Budha. Jadi, pasti yang tidak disebut “ada” (dikunjungi) oleh Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik  itu Cirebon Islam (walau Demak disebut juga). Demak (Raden Patah) ada mulai 1470-an. Jadi, Sunan Talaga Manggung saat mengambil Palembang Gunung sebagai menantu itu pasti pada masa awal Cirebon Islam–masih Hindu/Budha–mungkin sebelum berdiri Kesultanan Cirebon (Sunan Gunung Jati, 1479), walau agama Islam sudah menyebar.

Ingat, sang menantu (Palembang Gunung) kemudian membunuh mertuanya (Talaga Manggung), dan kemudian dibunuh lagi oleh isterinya (putri Talaga Manggung, Simbar Kancana). Masa itu pasti setelah Talaga Manggung lama memerintah, setelah Simbarkancana “dewasa.”

Perpindahan kekuasaan dari Talaga Manggung ke Palembang Gunung diduga hanya sebentar saja. Jadi, andai Talaga Manggung naik tahta sekitar 1450 M., mengambil menantu sekitar tahun 1470 M., dibunuh sekitar tahun 1475, digantikan Simbarkancana setelah Palembang Gunung dibunuh sekitar tahun 1480, lalu memindahkan ibu kota ke Walang Suji, maka itu sekitar tahun 1480-an. Demak–sebagai “tetenger” perjalanan Bujangga Manik diperintah Raden Patah tahun 1478 M., Kesultanan Cirebon disultani Sunan Gunung Jati mulai tahun 1479 M. Agak logis, agak dekat dengan catatan Bujangga Manik, jika ada Talaga beribu kota Walang Suji masa Simbarkancana.

Nah, berkait dengan catatan Bujangga Manik, benarkah Bujangga Manik ke Talaga saat Talaga baru selesai perang kudeta? Atau saat “bagawan agung” Darmasuci II  sang “bagawan-sinatria, sinatria-binagawan” justru sudah tiada? Itu masalah lain. Bujangga Manik (Prabu Jaya Pakuan) itu seorang “satria-pinandita” yang lebih mementingkan keagamaan daripada kenegaraan. Ia bepergian menjelajah Jawa dan luar Jawa hanya untuk memuaskan rasa keagamaannya, mengunjungi berbagai pusat keagamaan dan daerah-daerah Hindu-Budha. Termasuk Talaga dengan Walangsuji-nya. Itulah sebabnya ia tidak “mampir” ke Cirebon (yang sudah Islam). Jadi, Talaga didatangi tentu karena sedikit banyak terkenal. Masa itu apakah masa Simbarkancana? Bukan masa Talaga Manggung?

Terkait dengan masa itu, jadi tidak logis pula ceritera, yang ditulis pula di internet, bahwa Nyi Rambut Kasih, yang aslinya putri Pajajaran, berangkat ke Talaga akan menemui saudaranya yang jadi raja Talaga. Kepergiannya “terhenti” di Sindangkasih ( desa di Majalengka sekarang), tidak diteruskan, karena tahu Talaga sudah masuk Islam. Kejaidan itu terjadi pada tahun 1460-an. Lalu Nyi Rambut Kasih mendirikan kerajaan di Sindangkasih. Ketidaklogisannya adalah Talaga saat itu (1460-an) belum Islam. Konon baru pada tahun 1529 (atau 1530) pemerintahan Talaga masuk Islam. Sindangkasih sendiri, menurut legenda, diislamkan tahun 1490.

Tapi, sebelum lanjut, ada yang menulis masa-masa pemerintahan raja-raja Talaga itu sebagai berikut (“simpanan2share nocomment pls”; entah sumbernya dari mana).

Era Sunan Talagamanggung (± 1388-1420 M)

Era Ratu Simbarkancana (± 1420 – 1450 M)

Dari pernikahan Ratu Simbar Kancana dengan Raden Rajamantri (dengan Palembang Gunung tidak punya keturunan) dikaruniai tujuh orang anak, yaitu: (1) Sunan Bungbulang, (2)  Sunan Tegal Cau, (3) Sunan Jero Kaso, (4)  Sunan Kuntul Putih, (5)  Sunan Cengal, (6)  Sunan Cihaur, (7)  Sunan Parung (Sunan Corenda).

Era Sunan Parung atau Sunan Corenda (± 1450 – 1500 M)

Era Ratu Parung Sunyalarang (± 1500 – 1550 M).

Lagi-lagi, tahun-tahun itu menjadi tidak cocok dengan catatan Bujangga Manik, yang menyebut Talaga beribukota Walang Suji (sekitar 1475-1525), jika “keukeuh” (bersikukuh) bahwa Walang Suji itu ibukota Talaga masa Simbarkacana (1420-1450M.). Tahun-tahun di atas  juga salah, karena tak mungkin Simbar Kancana langsung menggantikan Talaga Manggung, tanpa dijedai oleh pemerintahan Palembang Gunung (Talaga Manggung dalam catatan di atas wafat tahun 1420 M.). Kecuali, seketika, dalam tahun yang sama Palembang Gunung dibunuh Simbar Kancana.

Selain itu, Sunan Corenda dikenal dalam babad Sumedang sebagai orang yang menikahi Satyawati (Sintawati?–ini tulisan blog yang “kacau) dan menjadi “raja” di Sumedang, tidak di Talaga. Mana yang benar?! Jangan-jangan Sunan Parung bukan Sunan Corenda. Mari sebentar kita lihat tulisan lain yang memperjelas Satyawati ataukah Sintawati isteri Sunan Corenda itu (dari “Multiply”).

Kemudian Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyi Mas Ratu Patuakan (1462 – 1530) sebagai raja Sumedanglarang ketujuh. Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. [Dari] Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umun (1530 – 1578 ).

Pada masa Ratu Sintawati/Nyai Mas Patuakan agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M.  Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan.

Putra Pangeran Palakaran/Muhammad yaitu Rd. Solih atau Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum putri Nyi Mas Patuakan, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedanglarang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I.

Dari “Sejarah Sumedang” ini diketahui bahwa Sunan Corenda (kalau benar  itu juga Sunan Parung) menikah dengan Ratu Sintawati atau Nyi Mas Ratu Patuakan, dan memerintah di Sumedang (pasti begitu, kan, bukan Sintawati yang memerintah) pada tahun 1462-1530 M. Di Talaga (menurut versi di atas) memerintah sekitar tahun 1450-1500 M. Mustahil kan memerintah di dua kerajaan tanpa menyatukannya?!

Dengan demikian juga akan sangat salah sekali menganggap makam yang ada di Situ Sangiang adalah makam Sunan Parung (Sunan Corenda), sebab Sunan Parung alias Sunan Corenda kemungkinannya tidak dimakamkan di Situ Sangiang, melainkan di Corenda, Sumedang. Di Sumedang ada desa yang bernama Corenda.

3. Pangeran Muhammad versi Majalengka dan Sumedang

Menurut tulisan di atas pula, pada tahun 1529 M. Sumedang sudah mulai beragama Islam. Itu artinya Ratu Sintawati dan Sunan Corenda akhirnya memeluk agama Islam. Agama Islam disebarkan oleh Pangeran Muhammad, putra Pangeran Panjunan.

Pangeran Muhammad (Pangeran Palakaran) yang sama ini disebut-sebut sebagai tokoh yang menyebabkan Sindangkasih Nyi Rambut Kasih di Majalengka “langka”  menurut versi dongeng urang Sindangkasih, dan makamnya ada di dekat desa Sindangkasih, Majalengka (disebut juga bertapa di Margatapa—sampai wafat?). Ini juga “masalah kontroversial”.

Andaikata daerah (desa, kampung, apapun namanya) yang bernama Palakaran bisa terlacak, bisa jadi makamnya ada di situ, bukan di sekitar desa Sindangkasih Majalengka, atau di Margatapa. Jika di Margatapa mestinya akan diberi julukan Pangeran Margatapa (Pangeran Seda ing Margatapa). “Lakar” (bahasa Sunda/Jawa Kawi) itu kayu bahan bangunan (kayu jati dan lain-lain). Jadi, “pa-lakar-an” mengandung arti tempat banyak orang menjual atau menyediakan kayu-kayu bahan bangunan. Masa itu di mana yang paling tekenal? Seperti Panjunan tempat orang membuat “anjun” di Cirebon.

4. Palembang Gunung dan Talaga Pusat Budha

Kembali ke Talaga Manggung dan Palembang Gunung. Tidak diketahui pasti pula, Palembang Gunung itu beragama Islam atau masih Hindu-Budha. Tapi, mengingat Sunan Talaga Manggung seorang bagawan Budha yang “satria-pinandita, pandita sinatria,” diduga Palembang Gunung masih beragama Hindu-Budha, kendati Cirebon sudah mulai Islam.

Ini juga bisa  (maaf, bagi yang terlampau mengagung-agungkan Talaga) “menepis” anggapan bahwa Talaga sudah berhubungan dengan Palembang dengan adanya Palembang Gunung, seolah Palembang Gunung langsung datang dari Palembang.

Tentu bisa saja Talaga sudah berhubungan dengan Palembang, karena, menurut beberapa sejarahwan, Talaga itu merupakan satu-satunya negara di Jawa Barat yang beragama Budha, dan jadi pusat pendidikan agama Budha oleh bagawan-bagawan terkemuka (Bagawan Gunung Bitung, Bagawan Darmasuci I, Bagawan Garasiang, dan mungkin pula “Sunan-Bagawan” Talaga Manggung).

Akan tetapi, “anehnya” ada “dongeng” Walangsungsang yang sudah Islam belajar (ingin mengetahui sebagai perbandingan) agama Budha bukan ke Talaga, tapi ke Gunung Kumbang (utara Majenang, desa Salem). Tapi, itu dongeng orang yang tahunya Talaga itu kerajaan Hindu, bukan kerajaan kebagawanan Budha.

B. Melacak Ibu Kota Kerajaan Talaga di Kemungkinan Pelaharan Letusan Gunung Ciremay

1. Situs dan artefak tertutup lahar Ciremay?

Kerajaan Talaga disebut demikian mungkin karena: (1) berada di dalam atau dekat “talaga”, (2) mempunyai tempat suci yang berupa “talaga.” Talaga (dari bahasa Sansekerta “tadaga”) itu dapat dipastikan yang sekarang disebut dengan situ. Situ tersebut diberi nama Sangiang (“Sanghiyang”), menjadi Situ Sangiang (orang Belanda menyebutnya “Telaga Sangiang”). Disebut Sangiang diduga karena dianggap keramat atau suci. Entah kenapa tidak disebut “Sanghyang Talaga” seperti pada sebutan “Sanghyang Talaga Rena Mahawijaya” (nama talaga suci itu Rena Mahawijaya) yang disebut dalam prasasti Pajajaran.

Ada versi yang menyebut ibu kota Kerajaan Talaga itu ya di kota Talaga sekarang. Ada yang menyebut keraton Kerajaan Talaga itu di Situ Sangiang. Bujangga Manik alias Prabu Jaya Pakuan, dari perjalanannya sekitar tahun 1475-1525 menyebut ibu kota Kerajaan Talaga itu Walang Suji. Bagaimana analisis kita kira-kira?

Bayangkan bahwa Situ Sangiang dulu (pada pertengahan abad XV) itu sedemikian luas, tidak sesempit sekarang. Sekarang menjadi sempit karena sudah banyak endapan lumpur. Belum lagi karena “lahar” Gunung Ciremay muntah juga ke situ, jadilah situ itu menjadi sempit.

Gunung Ciremay “abad-abad terkahir” pernah meletus pada tahun  1698 dan terakhir kali terjadi tahun 1937 dengan selang waktu istirahat terpendek 3 tahun dan terpanjang 112 tahun. Tiga  letusan  1772, 1775 dan 1805 terjadi di kawah pusat tetapi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti. Letusan uap belerang serta tembusan fumarola baru di dinding kawah pusat terjadi tahun 1917 dan 1924.

Kawah Gunung Ciremay: dua kawah jadi satu.

Jadi, pada abad XV dan XVI bukan mustahil Gunung Ciremay (yang ketika itu masih  aktif) pernah meletus juga, walau tidak meletus besar, hanya melelehkan lahar seperti Merapi 2010.

“Wedhus gembel” Gunung Ciremay, foto jaman Belanda (kemungkinan awal abad ke-20; 1937?)

Sungai bekas aliran lahar Gunung Ciremay, foto jaman Belanda (1937?)

Talaga itu ada yang merumuskannya bukan sebagai situ, melainkan danau kawah. Situ Sangiang itu talaga danau kawah (mati) dari gunung apa? Apakah dari pegunungan Gegerhalang (geger = punggung gunung yang memanjang; halang/halalang = ilalang, alang-alang) yang ada pada masa kedua sebelum terbentuk Gunung Ciremay pada periode ketiga pembentukan Gunung Ciremay? Menurut Wiki Sunda–tinggalan letusan Gegerhalang itu berupa “congcot” (kerucut) utara kawah Ciremay. Kawah Ciremay sendiri kawah ganda yang menyatu, satu di sebelah barat, dan satu lagi di sebelah timur. Jadi, di mana Gunung Gegerhalang itu?

Nah, ternyata dalam peta Cirebon 1857 ini tampak di mana gerangan Gunung Gegerhalang (ditulis Geger Halam). Gunung  itu berada persis “di atasnya” Situ Sangiang. Perhatikan pula bahwa nama “Argalingga” belum ada, yang ada nama Apai (Apuy sekarang–artinya “api”). Gegerhalang sendiri ada kemungkinan berasal dari kata “geger” (geger dalam kata Sunda gegerungan, bukan dalam kata gehger) yang berarti punggung gunung yang memanjang (geger dalam bahasa Jawa artinya punggung), dan “halang” yang (tampaknya) berasal dari kata “halalang” (ilalang, alang-alang). Jadi, Gegerhalang artinya punggung gunung yang memanjang yang dipenuhi belukar alang-alang (bukan karena ada atau sebagai peng-“halang”).

Gunung Gegerhalang (Fase Pembentukan II Gunung Ciremay)

2. Sangiang versus Walang Suji

Dengan keluasan situ yang sangat wajar jika disebut talaga itu, dan dengan logika “tidak biasa” talaga keramat dijadikan pusat kerajaan, maka “kota” Kerajaan Talaga itu ada di bawahnya, karena agak utara di atasnya sudah ada padepokan Bagawan Garasiang. Dan nama kota (pemukiman) itu–seperti disebut-sebut Bujangga Manik–adalah Walang Suji, daerah yang banyak pohon walang (sejenis “kunir-kuniran”–biasa digunakan sebagai bumbu “angeun lada”  atau sayur pedas orang Banten, dan pengusir belalang walangsangit) dan pohon suji (sejenis pandan-pandanan–untuk memberi warna hijau).

 

WALANG POHON

 

Pohon Walang

 

POHON SUJI PENGHIJAU MAKANAN

Pohon Suji

3. Walangsuji di Kagok, Banjaran?

Ada yang dengan yakin menyebut Walang Suji itu berada di desa Kagok, Kecamatan Banjaran sekarang. Nama “kagok” terasa agak “misterius.” pasti bukan “kagok” bahasa Sunda “modern” dalam arti “tanggung” atau “kapalang.” Kagok Sunda buhun (Kawi, Sansekerta) berarti aneh, tidak biasa, atau luar biasa. Jadi, mungkin orang-orang pada jaman jauh setelah era Talaga melihat ada yang “aneh dan tidak biasa” di daerah situ, lalu disebutlah sebagai daerah yang “kagok.” Mungkin saja. Andai kata di desa Kagok itu ada “sesuatu” (bukit,  dekat sungai yang agak “tidak biasa”) yang dulunya banyak ditumbuhi walang dan suji, klop! Ada juga yang menyebutnya di Buniasih, juga termasuk di Kecamatan Banjaran sekarang, di sebelah bawahnya Garasiang, di utara desa Kagok.

a. Makam Sunan Wanaperih (Wanaprih)

Ada yang menarik dari desa Kagok. Ada, konon, makam salah satu raja Kerajaan Talaga di situ, yaitu yang bernama Raden Kikis bergelar Sunan Wanaperih. Seperti telah disebutkan, “wana” artinya hutan, dan “perih” dari “prih” atau “preh” nama sejenis pohon beringin. Sunan Wanaperih ini saya duga semula “berada” (memimpin semacam “perdikan,” semacam daerah bagian dari kerajaan) di daerah Kareo. Kareo dari kata karoya (“kroya”–Jawa) itu juga sejenis pohon beringin, seperti prih (preh–Jawa).

b. Kebonwana (Kebenwana)

Sisi lain yang menarik dari desa Kagok ini adalah ada kampung (dusun) yang disebut Kebonwana. Nama ini agak aneh. Kebon dalam bahasa Sunda artinya kebun. Wana artinya hutan. Jika lalu diartikan kebun hutan atau hutan kebun, rasanya tidak pas. Jadi, “kebon” itu pasti dari sesuatu kata yang agak aneh di telinga “urang Sunda” sekarang, sehingga diubah menjadi yang cocok dengan kata-kata Sunda modern, menjadi “kebon.” Tentu juga bukan dari kata “kebo” (kerbau; munding–Sunda). Kemungkinannya itu dari kata “keben,” sejenis pohon pelindung yang di Keraton Yogyakarta banyak ditanam.

Kraton sebagai pusat pemerintahan dan Kraton sebagai tempat tinggal Sri Sultan Hamengku Buwono beserta kerabat istana, dipisahkan oleh halaman dalam depan yang disebut Kemandungan Utara atau Halaman Keben, karena disini tumbuh [ditanami–Pen.] pohon [pohon keben-Pen.] yang dalam tahun 1986 dinyatakan Pemerintah Indonesia sebagai lambang perdamaian dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Internasional.

Buah keben yang benang-benangnya sudah gugur dan daun keben

BUNGA KEBENBunga keben yang benang-benang (malainya)  masih ada dan buah keben

Bunga keben (sekar keben) dijadikan salah satu motrif batik Yogyakarta yang aslinya merupakan pakaian harian “abdi dalem” Keraton. Filosofinya orang yang memakainya mempunyai wawasan luas dan selalu ingin maju.

BATIK SEKAR (KEMBANG) KEBENBatik “Sekar-Keben” (Bunga-Keben) pakaian harian “abdi dalem” Keraton Yogyakarta (Perhatikan “stiliran” benang-benang atau malai bunga)

Jika dugaan saya benar, maka di kampung Kebonwana inilah keraton Kerajaan Talaga terdapat. Kebonwana (Kebenwana–menggunakan hukum M-D; beda dengan “Wanaperi” yang hukum D-M; kecuali wanaperi dimaksudkan beringin hutan, bukan hutan beringin), berati hutan pohon keben.  Di gerbang depan keraton selain “lazimnya” ada dua batang pohon beringin atau sejenisnya (ara; nunuk, karoya, prih/preh), di sebelah dalamnya banyak pohon keben ditanam.

c. Cigumawang: Pemujaan Syiwa?

Di dekat kampung Kebonwana (Kebenwana) ada pula nama kampung Cigumawang. Jika dilihat dari pola kebiasaan orang Sunda memberi nama wilayah (desa, lembur), maka unsur pokoknya adalah “gumawang,” kata “ci” hanya “kata antaran saja,” tidak harus ada sungai. Jika ditelusur dari bahasa Sunda, “gumawang” itu kata dasarnya gawang  yang diberi imbuhan sisipan -um-. Tidak tertemukan kata “gawang” dalam bahasa Sunda asli (kecuali “awang-awang” = langit). Dalam Kamus Jawa Kawi Indonesia Maharsi, gumawang itu artinya bersinar kemilau. Nah, itu sama dengan “dev” dalam beberapa bahasa “Indo-Eropa” yang berarti cahaya, sinar  atau langit. Jadi, cigumawang artinya cilangit, atau cigenyas (herang ngagenyas–kemilau). Entah kenapa tidak disebut Ciherang, tapi Cigumawang. Pasti ada faktor lain.

Salah satu yang bisa memunculkan “kecurigaan” (walau agak berbau Hindu, bukan Budha), Gumawang itu nama lain dari Dewa Shiwa. Nah, adakah sesuatu “situs” di situ yang terkait dengan pemujaan Dewa Siwa (bersama-sama dengan pemujaan kebudhaan)? Perlu dilacak.

Gumawang atau gumarang? Gumarang itu artinya kerajinan pembuatan kain cita (tenun, begitu). Jika itu salah pelafalan, maka daerah (kampung) Cigumawang tersebut merupakan tempat orang-orang membuat kain (untuk kerpeluan kerajaan, terutama). Di Yogyakarta sentra pembuatan batik itu disebut  Kampung Batikan yang di sekitarnya mengalir Kali Mambu (“Cibau”), mungkin karena (di satu sisi) banyak limbah buangan pembatikan yang membuat kali (sungai) menjadi “mambu” (bau).

4. Situ Sangiang (Sanghyang Talaga): Talaga Keramat

Jadi, ceritera ibu kota Kerajaan Talaga di Situ Sangiang itu belum tentu benar. Bahwa situ itu disebut Situ Sangiang (Sanghiyang) karena situ itu dianggap suci oleh orang-orang saat itu. Sebutan Sanghiyang menunjukkan ada unsur kekeramatan di dalamnya. Jadi, namanya bisa Sanghiyang Talaga, seperti Sanghiyang Talaga Rena Mahawijaya.

Seperti telah disebutkan di muka, sebagai tempat suci, talaga (situ) Sanghiyang (Sanghiyang Talaga) itu tidak ditempati, tetapi dijadikan tempat untuk bersunyi-sunyi diri (tapa brata), memuja “Sanghiyang Budha” dan sebagainya, dan untuk pemakaman. Bahwa ada di luarnya sedikit pemukiman, itu tempat “juru kunci” penjaga situ berdiam, tentu ketika itu tidak seberapa banyak, hanya satu pondokan, mungkin dengan satu pasanggrahan (vila atau bungalow) untuk keluarga kerajaan jika perlu istirahat, yang lalu bisa berkembang menjadi satu perkampungan tersendiri (kampung Sangiang).

Ingat, Kerajaan Talaga ada yang menyebut beragama Hindu, ada yang mengatakan satu-satunya kerajaan di Jawa Barat yang Budha. Jadi, gabungan Hindu-Budha, Budha tetapi masih mengandung unsur Hindu, dan bahkan agama “kahiyangan” Sunda. Karena itulah wajar jika situnya disebut “situ”  Sanghyang Talaga. Kerajaannya disebut Kerajaan Talaga.

Makam Sunan Parung (Prarungganggsa?) di Situ Sangiang

PINTU GERBANG MASUK KE KOMPLEKS MAKAM SITU SANGIANGPintu Gerbang Masuk ke Kawasan Situ Sangiang (Masa Modern)

Pintu masuk Situ Sangiang (di depannya ada makam tokoh Islam)Pintu Masuk Situ Sangiang di depannya ada makam tokoh penyebar agama Islam

PINTU MASUK MAKAM SUNAN PARUNGGerbang ke Makam Sunan Parung (Parunggangsa?). Jelas gerbang ini dibangun abad modern.

JALAN MENUJU MAKAN SUNAN PARUNG (PARUNGGANGSA?)Jalan Setapak Menuju Makam Sunan Parung (Parunggangsa?)

Dengan menyebut ibu kota Kerajaan Talaga di Walang Suji (tempat yang banyak pohon walang dan pohon suji), maka Kerajaan Talaga yang sedang “manggung” (seperti burung perkututnya orang Jogja yang “manggung”–bunyinya “mak kung” sangat indah itu), dengan rajanya yang bernama Dharma Agung (semula Dharma Suci II, lalu diduga bergelar jadi Dharma Agung), tentu terkenal di seantero Jawa Barat, sehingga menarik hati Bujangga Manik yang raja pinandita itu untuk mengunjunginya. Ini kalau Bujangga Manik dan Talaga Manggung sejaman (sekitar 1475-1525).

Jika benar Walang Suji berada di sekitar desa Kagok (Kebonwana), Banjaran, itu artinya berada di sebelah bawah talaga. Keberadaan Walang Suji (Kebonwana) jika dilihat dari jalan raya sekarang, lebih dekat dibandingkan Situ Sangiang atau desa Sunia (sunia dari kata “sunya” atau sunyi). Keturunannya memang kemudian ada yang bernama Sunyalarang, diduga karena di desa Sunia sekarang itulah banyak berdiam atau dibesarkan (dalam pendidikan seseorang yang mungkin termasuk “bagawan” atau “batara” di tempat yang “sunyi” atau hening), atau menjadi “perwakilan” kerajaan untuk memimpin masyarakat di situ.

Jalan “jaman baheula” dari Pakuan (Bogor) melewati Karangsambung (Kadipaten, Majalengka) sekarang ke selatan  untuk sampai ke Kawali akan melewati Walang Suji. Dan mungkin jalan itu jalan yang sekarang ada atau berdekatan dengannya. Dan itu di “bawah” situ, sebab kalau melewati situ akan sangat “menanjak sekali.”

5. Sunia (Sunya), Sunyalarang, dan Runday Kasih

Desa Sunia sendiri, seperti telah disebutkan di atas, kemungkinan lebih merupakan padepokan pertapaan. “Sunia” dari kata “sunya” atau “sonya” yang berati sunyi, sepi, hening, terasing. Tepat jika dijadikan tempat unatuk mengasingkan diri, bertapa, atau berguru. Maka wajar jika ada keturunan Kerajaan Talaga yang bernama Sunyalarang (“larang” juga mengandung arti “suci”).

Nama Sunyalarang (di desa Sunia sekarang) itu sampai sekarang masih ada, berupa nama kolam, di samping kolam Sunyantaka. Sunyantaka juga nama makam yang ada di bukit di atas desa Sunia. “Sunya” mengandung arti sunyi, “antaka” mengandung arti akhir hidup (kematian) atau yang mengambil nyawa (dewa Yama). Sunyantaka artinya tempat orang yang sudah meninggal (dalam keheningan kedamaian).

Di Sunia juga ada sungai (mata air, “belik” kata orang Jawa) yang dianggap warga setempat pernah dipakai tempat mandi isteri Prabu Talaga Manggung yang bernama Ratu Runday Kasih.

Nah, kalau pakai bahasa Sunda, “runday” itu rambut yang mengurai memayang (bak mayang mengurai). Disebut demikian mungkin krena rambutnya bak mayang mengurai (ngarunday). Atau, “cinta kasihnya” kepada sesama bak uraian mayang, panjang, tak habis-habis. Jadi, tidak salah jika ada yang menyebut sebenarnya legenda Nyi Rambut Kasih di Majalengka itu salah, karena Nyi Rambut (Runday) Kasih itu adanya di “Sanghiyang Talaga.” Tapi, sekali lagi, itu legenda. Jika Sunan Talaga Dharmagung berada di Walang Suji (Kagok, Banjaran), terlampu jauh jika setiap hari mandi di mata air sungai desa Sunia. Mungkin saat menengok putrinya (Sunyalarang) yang memerintah di “lurah”  Sunia (Sunyalarang) beliau mandi di situ, wajar.

Banyak nama tempat yang diakhiri dengan “larang” sehingga kadang-kadang tidak perlu dirujuk apa artinya. Misalnya Cirebon Larang (Cirebon Pasisir, sebagai “lawan” Cirebon Girang), Sumedang Larang, Padalarang, Darmalarang (Talaga).

Pergeseran ibu kota di seputar Situ Sangiang konon menurut dongeng biasa dilakukan, dan itu sebenarnya tidak terlampau jauh satu sama lain. Hanya utara-barat- selatan situ saja. Tapi, sekali lagi, bukan mustahil ibu kota Kerajaan Talaga itu tetap di Walang Suji. Lainnya hanya “lurah” bagian dari Kerajaan Talaga, yang untuk memimpin masyarakat di situ, diangkatlah para putra dan putri Raja Talaga. Contohnya ada Sunan Cungkilak (Cungkilak di dekat Campaga, Talaga), Sunan Benda (di daerah yang banyak pohon benda atau “teureup”), Sunan Wanaperih (Wanaprih) kemungkinan di Kareo sekarang (atau, jangan-jangan di “Wanahayu”), Sunan Jerokaso (Maja), Sunan Tegalcau (di “Tegalcawet”)  Tegalsari, Maja, Sunan Parung (di Parung–belum terlacak).

6. Melacak dari Jalan Raya Karangsambung-Kawali

Pada jaman Belanda (1857) jalur dari “Madja” ke “Telaga” itu tampak dari peta berikut.

Jalur jalan dari wilayah Madja ke wilayah Telaga (termasuk Sangiang)

Nah, jadi, kira-kira di mana itu Walang Suji? Tjioeroer itu pasti Cihaur, yang disebut-sebut sebagai salah satu desa yang pernah dijadikan ibu kota Kerajaan Talaga. Posisi Situ Sangiang sendiri seperti tampak dalam peta berikut (keadan tahun 1857).

SITU SANGIANG DAN DAERAH SEKITARNYASitu Sangiang, desa Sangiang dan sekitarnya (1857)

Nah, ditunggu komentar dan masukan. Siapa tahu ada yang pernah dengar ada kampung yang dekat-dekat nama dengan Walangsuji.

NOTE (Mei 2011): Ada info lewat komentar pembaca, di desa Kagok itu memang ada kampung bernama Walangsuji!

Baca juga:

[Klik tulisan di baris atas blog ini yang berbunyi “Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik”, lalu klik pilihan tulisan yang muncul dalam “kotak hitam”]:

1. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (1) Talaga, Sindangkasih, Kabupaten Maja

2. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (3) Sumber Sejarah

3. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (4) Nama, Agama, dan Historis Pendirian

4. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (9) Melacak Situs dan Peninggalan

31 thoughts on “KERAJAAN TALAGA: MELACAK JEJAK BUJANGGA MANIK (5) IBU KOTA TALAGA WALANGSUJI ITU DI MANA?

  1. Hebat……, Setelah membaca saya jadi tahu dan sedikit mengerti juga ingin melihat ke lokasi lokasi tersebut secara lagsung. Tapi kapan ya……? saya sendiri masih belum berani menentukan waktunya, karena sikun saya saat ini belum memungkinkan.

  2. Pa Tatang kumaha damang? abdi anu ti Paniis tea, saentos naroskeun ka sepuh, dugaan abdi Bapa teh ti blok Jumaah Maja, isteri bapak ti Blok Saptu, upami leres mah, mertua Bapa teh Bapa Rosidi, kaleresan rerencangan pun Bapa da sami-sami guru, ngeunaan Walangsuji abdi mendak wartos ti rerencangan urang talaga yen Walangsuji teh nami hiji daerah atanapi blok di desa Kagok kecamatan Banjaran, mudah-mudahan informasina leres..

    • Alhamdulillah atuh ari aya keneh nami Walangsuji mah. Upami aya petana, hebat, nya. Sok saha nu tiasa mangdamelkeun geura, teras diupload ka internet. Komo bari ditambihan foto-fotona mah.
      Sanes bapa eta mah. Hehehe. Lepat. Ki lanceuk eta mah.

  3. Bapak Tatang abdi salut kasalira sakitu seeuer ilmuna, utamina ngaguar kerajaan kerajaan nu aya di tatar sunda, rahayu kang, ieu tiasa jadi pencerahan tarutamina yen urang sunda mah miskin temuan arkeologisna. hatur nuhun rahayu

  4. Pa Tatang saya dari banjarmasin, kalsel, ingin bertanya , banjar dalam istilah sunda atau jawa itu apa artinya,….?
    blog yang bagun

    firdaus
    Isen mulang, waja sampai kaputing

  5. pak tatang, abdi bade naros perkawis cerita situ sangiang,. menurut info nu kadangu di daerah abdi di Garasiang bahwa raden panglurah jeng prajuritna teh ngahiang jadi lele nu aya di situ sangiang tapi abdi teh sempet maca dina blog didinya di ceritakeunn yen raden panglurah teh di bunuh ku palembang gunung, kinten-kintena bapa terang nu leres teh nu mana ? hatur nuhun.

    • diaos sadaya geura neng, ti talaga 1 dugi ka talaga 9, aya geura carios raden panglurah sareng bala kurawana nu 39 urang ngahiang di situ sangiang! Aos talaga nomor 2 (sumber sejarah). Patung raden panglurah aya di nomer 9. Mangga! Aeh, bari upami tiasa kintun atuh foto garasiang ayeuna jiga kumaha, sugan aya gugundukan pasir nu rada lega, hipotesis (dugaan) tilas padepokan bagawan garasiang. Upami ti maja ka garasing teh ngalangkungan desa naon wae, nya? Tos teu apal, padahal keur SD kungsi mapay-mapay dugi ka situ sangiang!

  6. salut ka pa tatang, abdi hoyong penjelasan mengenai hubungan desa Abdi ( Desa Kutamanggu) sareng Talaga, ari menurut sejarah desa saurna aya hubungana. nhnken penjelasana?

  7. suka banget ziarah ke tempat ini.adem,tentram hati rasanya.apalagi kasi makan ikan2 nya itu.feeling wonderfull hehehe

  8. pak tatang mau nanya, yg d dsa salado aya makam syekh khotib mantu dan Rd sanawi, eta ti kerajaan talaga lain?…

  9. Di sebelah selatan pasar talaga di pinggir sebuah sungai ada sebuah daerah yang bernama parung .Posisinya persis di sebuah jurang sungai Campaga.Daerah Parung masuk ke wilayah Desa Campaga,Kec Talaga.Barangkali daerah itu ada hubungannya dengan sunan parung.Sekedar tambahan di dalam wilayah parung ada sebuah makam panjang yang dikeramatkan.Di sebelah barat parung ada daerah yang bernama Cungkilak mungkin ada hubungannya dengan Sunan Cungkilak.Di sebelah utara ada arca Raden Panglurah dan makam raja talaga,tepatnya diCikiray desa Talaga Wetan.Agak jauh ke selatan ada lagi makam raja Talaga di daerah lemah abang.Masih di sekitaran desa Campaga ada sebuah gunung yang bernama gunung picung.Bila melihat lokasinya barangkali ada hubungannya dengan gelar Sunan Parung .

    • Ass…
      Kang tatang ngenalkn abdi didin rajidin urang sunia…
      Ningal gelar sejarah di luhur.. Sekedar informasi tambahan.. Di sunia aya gelar budaya NGALAKSA nu dilaksanakeun di balong tempat mandi mandi nyi runday kasih nu. Pninggalan sejarahna aya di abdi nyaeta karembong lokcan..

  10. ass. Pak tatang pami saurna talaga manggu bahan kanggo desertasi pak tatang pami tiasa abdi hoyong tiasa membaca desertasina pak tiasa kengin di mana ya pak…haturnuhun ..

  11. pak tatang nepangkeun nami abdi agus asal na ti desa garawangi ngalih ka desa sumberjaya kec. sumberjaya – majalengka. nembean pisan td abbi amengan ka situ sangiang ( 09 januari 2016) sapulang na ti situ abdi panasaran palay terang serajahna janten langsung abdi buka internet liat-liat situs tentang situ sangiang alhamdulilah nambiahan wawasan saparantos maos silsilah sajarah situ sangiang. haturnuhun aosan-aosan na,,, tempatna adem, janten hoyong dongkap deui insallah.

  12. pak tatang nepangkeun nami abdi agus asal na ti desa garawangi ngalih ka desa sumberjaya kec. sumberjaya – majalengka. nembean pisan td abbi amengan ka situ sangiang ( 08 januari 2016) sapulang na ti situ abdi panasaran palay terang serajahna janten langsung abdi buka internet liat-liat situs tentang situ sangiang alhamdulilah nambiahan wawasan saparantos maos silsilah sajarah situ sangiang. haturnuhun aosan-aosan na,,, tempatna adem, janten hoyong dongkap deui insallah.

  13. Pingback: Curug Cilutung Talaga Obyek Wisata Di Majalengka Yang Menarik

  14. Pa abdi orang garasiang pami teu lepat mah aya gugundukan taneuh di leweung nu namina “tanehbelah” manawi tiasa di cek soalna abdi mireng ti sepuh begawan garasiang teh tos islam da pernah ka baros ninggalkeun tahta raja

Leave a comment