EVALUASI PROGRAM MENGGUNAKAN MODEL “DISCREPANCY” PROVUS

Tatang M. Amirin. Edisi 15 Januari 2013

Dalam dunia pendidikan evaluasi itu setidaknya ada dua macam. Pertama evaluasi pendidikan yang biasanya lebih mengkhusus pada evaluasi hasil belajar murid/mahasiswa. Kedua, evaluasi program, program lembaga pendidikan (kadang orang menuliskan evaluasi program pendidikan–tentu bisa berbeda konotasinya). Kedua macam evaluasi itu berbeda jauh. Evaluasi pendidikan itu mengevaluasi (assess) program pendidikan (program belajar-mengajar). Tegasnya mengevaluasi apakah program (proses) pendidikan telah berjalan dengan baik. Yang dijadikan tolok ukur (standar) utamanya lazimnya “kepahaman” murid atau mahasiswa terhadap materi pelajaran yang telah dipelajari. Tentu bisa juga yang dievaluasi itu proses pendidikannya (pelaksanaan PBM/KBM–sudah berjalan baik atau tidak). Evaluasi program (lembaga pendidikan) berbeda objek atau sasarannya; yang dievaluasi adalah program (rencana kerja) lembaga pendidikan.

Masih ada lagi evaluasi yang bukan evaluasi pendidikan dan program lembaga pendidikan, yaitu evaluasi lembaga pendidikan itu sendiri, lazimnya bersifat administratif. Akreditasi sekolah dan perguruan tinggi yang dievaluasi itu kelembagaannya (organisasi atau tatapamongnya, perencanaan program, personilnya, sarana prasarananya, administrasi pelaksanaan kegiatan akademik, dan sebagainya). Evaluasinya menggunakan standar tertentu. Jadi, yang menajdi tujuan evaluasi adalah sudahkah lembaga itu memenuhi standar yang ditentukan.

Untuk melakukan evaluasi program lembaga pendidikan itu ada banyak model yang bisa digunakan, salah satunya (yang dianggap relatif sederhana untuk dilakukan) adalah evaluasi ketidaksesuaian (discrepancy) yang dikembangkan oleh Malcolm Provus.

Tidak sedikit yang sulit memahami konsep yang ditawarkan Provus, sehingga pada saat menerapkannya menjadi tidak pas atau salah sama sekali. Oleh karena itu, mudah-mudahan tepat, dalam tulisan ini akan dicoba dijelaskan model dimaksud.

Seperti umumnya evaluasi, yang jadi pegangan mengevaluasi adalah patokan atau standar yang telah ditentukan. Evaluasi pendidikan (hasil belajar) standarnya bisa hanya berupa benar atau salah. Misalnya mengerjakan soal Matematika. Jika murid bisa menjawab benar sekian persen dari soal, maka dikatakanlah bahwa pendidikan (pengajaran–dan kegiatan belajar murid) gagal atau berhasil. Keberhadilan atau kegagalan itu pun pakai standar pula, misalnya 75% sudah dianggap berhasil. Di Indonesia sekarang digunakan istilah kkm (kriteria ketuntasan minimal). Maksudnya kriteri (patokan, standar) untuk menentukan apakah murid sudah “tuntas” menguasai materi pelajaran (mastery) dengan menetapkan “batas minimal” sekian persen dari keseluruhan materi yang diajarkan/dipelajari.

Ihwal standar ini pada saat melakukan evaluasi program memang menjadi bahan perdebatan, karena tidak mudah menetapkannya, tetapi bagaimanapun harus ditetapkan terlebih dahulu. Sekolah bertaraf internasional (ketika masih “hidup”), misalnya, secara kelembagaan dapat dikatakan memenuhi persyaratan (ketentuan) jika misalnya guru-gurunya sudah sekian persen lulusan minimal S2.

Sasaran (Objek) Evaluasi Discrepancy

Discrepancy itu dimaksudkan ketidaksesuaian (bukan kesenjangan, atau perbedaan–memang perbedaan, tetapi maknanya beda!). Yang dimaksudkan adalah ketidaksesuaian, ketidakselarasan antara dua hal yang seharusnya, idealnya, harapannya, sama (“A discrepancy  exists between things which ought to be the same”). Sinonimnya “incongruity, disagreement, discordance, contrariety, variance.”

Objek sasaran evaluasi program (lembaga pendidikan, misalnya) dengan menggunakan model dicrepancy Provus itu ada lima aspek (kadang ada yang menyebutnya cuma empat), yaitu sebagai berikut.

1. Design (rancangan; program design). Yang dimaksud adalah ranncangan kegiatan atau program kerja. Oleh karena itu ada yang menyebutnya dengan program definition (penetapan program). Yang dievaluasi mengenainya adalah ada tidaknya unsur input, proses, dan output (sesuatu itu–lahan, personil, sarana prasarana, sumber daya–sekarang berkeadaan seperti apa, mau diproses dengan cara bagaimana, agar menjadi seperti apa). “Diteliti-evaluasi” kemudian kekomprehensifan dan kosistensi (keselarasan) internal rancangan tersebut.

2. Installation (program installation; penyediaan perangkat-perlengkapan yang dibutuhkan program). Agar program bisa dilaksanakan, lembaga pembuat program itu tentu harus menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukungnya. Jadi, yang dievaluasi adalah ketepatan berbagai sumber daya, perangkat dan perlengkapan yang tersedia untuk pelaksanaan program. Jika diprogramkan meningkatkan kemampuan mahasiswa mengajar, misalnya, apakah sudah “disiapkan” tempat latihan mengajar yang baik.

3. Process (program process). Yang dimaksud adalah proses pelaksanaan program. Di dalamnya termasuk kepemimpinan dan penugasan-penugasan (instruction). Yang dievaluasi adalah keterkaitan (kegayutan) antara sesuatu yang akan diubah, dibangun, dikembangkan dsb. dengan kegiatan (proses) untuk mengubah, membangun, mengembangkannya. Jika diharapkan sekian orang staf bisa studi lanjut, maka proses yang gayut adalah “menyiapkan” mereka untuk bisa studi lanjut, misalnya meningkatkan kemampuan bahasa Ingggris, meningkatkan penguasaan metodologi penelitian dan penulisan karya ilmiah, bukan “menugaskan studi lanjut.”

4. Product (program product, hasil program). Yang dievaluasi adalah efektivitas desain atau rancangan program; tegasnya apakah tujuan atau target program bisa tercapai.

5. Cost (biaya, pengeluaran). Yang dimaksud adalah implikasi (kemanfaatan) sosial politik ekonomi apa yang diharapkan bisa tergapai dari pelaksanaan program tersebut.

Untuk setiap tahapan (stage) tersebut ada standar kriteria tertentu yang telah ditetapkan untuk mengevaluasinya. Mengevaluasinya, dengan demikian, secra sederhana hanya dengan membandingkan “apa yang nyata terjadi” dengan standarnya (ada ketidaksesuaian, diskrepansi, ataukah tidak).

Dari hasil evaluasi itu pilihan tindak lanjutnya salah satu dari empat berikut.

1. Jika tidak ada diskrepansi, lanjut ke tahap evaluasi berikut.

2. Jika ada diskrepansi, ulangi evaluasi lagi pada tahap yang sekarang dilakukan jika sudah ada perubaha, entah pada standarnya, atau pada pelaksanaannya.

3. Jika pilihan kedua tidak bisa dipenuhi, balik lagi ke tahap pertama (perumusan program) untuk menyusun ulang program, lalu melakukan evaluasi ulang pada tahap 1 tersebut.

4. Jika pilihan ketiga itu tidak bisa dipenuhi, maka tiada pilihan lain selain menghentikan program.

Nah, jadi jangan sampai salah menggunakan berbagai model evaluasi. Jika ingin mengevaluasi lembaga, lembaganya yang akan dievaluasi, misalnya sudahkah memenuhi standar sebagai sekolah berstandar nasional, gunakan standar evaluasi lembaga. Jika yang akan dievaluasi hasil kegiatan belajar-mengajar, gunakanlah model-model evaluasi hasil belajar. Model diskrepansi (DEM-discrepancy evaluation model) tepatnya digunakan untuk evaluasi program lembaga, termasuk lembaga pendidikan. Jika program pendidikan (KBM/PBM) akan dievaluasi juga, yang dievaluasi program dan pelaksanaan programnya itu, bukan hasil belajar peserta didik.

Semoga bermanfaat.

10 thoughts on “EVALUASI PROGRAM MENGGUNAKAN MODEL “DISCREPANCY” PROVUS

  1. pak mau tanya, standar yang ada dalam model ini sudah ada ketentuanya sendiri atau membuat sendiri seperti dalam model CIIP + O ?
    kemudian apa yang bisa dijadikan acuan dalam membuat standar?
    terima kasih…

  2. Pak mau tanya, kalau model DEM ini untuk desain model nya ada atau tidak pak, seperti yang ada CIIP tks

  3. pa saya lagi tulis tesis tentangg evaluasi kinerja guru profesional saya pake model DEM apakah ini cocok atau giman cz saya lagi susun TEsisnya cuma lagi bingung pa. mohon arahanya

Leave a comment