KERAJAAN TALAGA: MELACAK JEJAK BUJANGGA MANIK (3) SUMBER SEJARAH

Tatang M. Amirin; 9 Januari 2011; 3 September 2011

(c) Tatang M. Amirin, 2011. Hak cipta pada Tatang M. Amirin. Siapapun, apalagi untuk keperluan pelajaran mulok di sekolah, boleh mengutip tulisan ini  asal tidak untuk diperjualbelikan, dan i dengan menyebut nama penulis asli dan nama blognya, agar terhindar dari tuntutan tindak plagiarisme.

***Tatang M. Amirin kelahiran Maja Kaler, Majalengka. Sekarang dosen tetap di Universitas Negeri Yogyakarta.

(Tulisan ini merupakan hasil pemotongan tulisan “Kerajaan Talaga” Melacak Jejak Bujangga Manik” yang dirasakan terlampau panjang. Bagian ini diberi nomor 3 dari urutan 1-9, agar ada ruang untuk tulisan lain sebelum dan sesudahnya–yang mungkin bisa agak banyak. Tulisan ini mengkhusus pada sumber-sumber sejarah Kerajaan Talaga).

MELACAK SUMBER SEJARAH KERAJAAN TALAGA

A. Naskah “Warisan”  Kerajaan Talaga

Dari mana kita tahu ada Kerajaan Talaga? Walau tidak salah, akan lebih baik jika tidak mulai dari catatan “keturunan Talaga” yang belum tentu tepat akurat. Catatan itu sudah sangat lama sekali dibuat dari tahun-tahun Kerajaan Talaga berada pada awalnya. Salah satu naskah “tertua” yang “ditemukan” adalah yang berada di tangan kuncen Situ Sangiang  (Herman) yang berupa salinan. Aslinya tidak tahu dibuat tahun berapa, dan dalam tulisan (aksara) apa, tapi disalin pada tahun 1942  dengan (ke dalam?) tulisan “pegon” (Arab-Sunda).  Itu pun hanya “dongeng sejarah,” bukan catatan sejarah, berupa “wawacan.”

Dalam Katalog Induk Naskah-naksah Nusantara, Jilid 5A, [tentang] Jawa Barat [dari] Koleksi Lima Lembaga yang disusun Edi S. Ekajati dan Undang A. Darsa, yang kemudian disunting oleh Oman Fathurrahman, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan Yayasan École Française D’Extrême-Orient, tahun 1999, ada beberapa “naskah” yang berkait dengan Kerajaan Talaga.

1. Wawacan Talaga Manggung

Naskah pertama berjudul Wawacan Talaga Manggung (selanjutnya akan disebut Wawacan saja), ditulis dengan huruf pegon, ditulis-salin oleh Arga Rapei tahun 1942.  Naskah diperoleh dari Herman, kuncen Situ Sangiang.

Seperti telah disebutkan, tidak dijelaskan naskah asli yang disalin Rapei itu berhuruf (tulisan) apa. Apakah huruf (aksara) pegon juga. Aksara pegon (Arab “menyimpang”) itu suka disebut juga “aksara Arab-Latin.” Maksudnya aksara (huruf) Arab tapi ditambahi, disesuaikan dengan huruf-huruf atau aksara yang ada dalam bahasa setempat (Sunda, Jawa, atau Melayu). Jadi, wawacan ini ditulis dengan (dalam) aksara Arab-pegon-Sunda.

Ada kemungkinan naskah aslinya yang disalin ke dalam Arab-pegon-Sunda itu  menggunakan aksara Sunda cacarakan. Entah di mana naskah aslinya itu. Lalu oleh Arga Rapei disalin ke dalam aksara pegon (Arab-Sunda) yang populer dikuasai masyarakat saat itu (tahun 1940-an).

Dalam “abstrak” yang dibuat penyusun Katalog, disebutkan bahwa dalam naskah yang berbentuk puisi ini dikisahkan proses islamisasi Kerajaan Talaga, tapi isinya terutama tentang Sunan Talaga Manggung dan Palembang Gunung.

Berikut beberapa catatan penting dari Wawacan tersebut. Sayang dan maaf, penulis tidak atau belum membaca naskah aslinya. Jadi, hanya mengandalkan abstrak (resume) dari Penyunting Koleksi naskah tersebut.

a. Sunan Talaga Manggung, Raden Panglurah, Simbar Kancana,  Palembang Gunung, dan Raden Ajar Kuta Manggu

Dikisahkan dalam wawacan tersebut bahwa bahwa Sunan Talaga Manggung mengangkat Palembang Gunung yang datang dari Cirebon sebagai menteri dan menantunya (dikawinkan dengan putrinya  Simbar Kancana). Simbar Kancana ini adik  Raden Panglurah yang bersemedi (bertapa) di Ujung Kulon. Palembang Gunung membunuh Talaga Manggung dan merebut kekuasaan daripadanya. Akan tetapi kemudian Simbar Kancana berhasil membunuh Palembang Gunung dengan menusukkan keris ke perutnya.

STOP PRESS!

Tertemukan peta Belanda tahun 1850-an. Yang dimaksud Ujung Kulon yang tadinya dikira Penulis Ujung Kulon Banten, ternyata Ujung Kulon di lereng Gunung Ciremay. Ujung (hujung) artinya kaki gunung yang menjorok ke luar, kulon artinya barat. Jadi kaki gunung yang menjorok yang berada di sebelah barat (Gunung Ciremay).

Selesai bertapa Raden Panglurah bersama 39 orang pengikut setianya pergi ke Sanghiang dan menghilang untuk kemudian berubah menjadi lele putih sebanyak 40 ekor. Putri Simbar Kancana kemudian dinikahi oleh Raden Ajar Kuta Manggu dan kemudian menurunkan para penguasa di Sagalaherang, Cikundul, dan Cianjur (tentu di samping di Talaga sendiri–Pen.).

b. Yang “ngahiang” di Situ Sangiang

Unsur “dongeng” atau “legenda” dalam Wawacan Talaga Manggung terlihat dari Raden Panglurah dan 39 pengikutnya yang “ngahiang” di Situ Sangiang dan berubah ujud menjadi lele putih.  Yang tidak muncul dalam berbagai tulisan tentang “Sejarah Talaga” adalah bahwa Raden Panglurah, kakak Simbar Kancana, itu bertapa di Ujung Kulon, dan kemudian kembali ke Talaga, lalu “ngahiang” di Situ Sangiang, yang sekarang dipercaya menjadi lele putih yang dikeramatkan. Ekajati dan Darsa tidak menyebutkan dalam “abstrak” wawacan tersebut faktor penyebab Raden Panglurah “ngahiang dan menjelma” menjadi lele putih. Dalam berbagai “dongeng” lain, entah sumbernya dari mana, yang disebutkan “ngahiang” itu Sunan Talaga Manggung dan keraton Talaga, padahal Talaga Manggung jelas–menurut wawacan–dibunuh Palembang Gunung. Termasuk, konon, bukan dalam wawacan, yang “ngahiang” di Situ Sangiang itu isteri Sunan Talaga Manggung yang bernama “Nyi Rambut Kasih” (Nyi Runday Kasih).

c. Julukan jabatan pemerintahan

Julukan “jabatan pemerintahan” Talaga Manggung di berbagai tulisan tidak sama. Ada yang menuliskan Sunan, ada yang Prabu, ada yang Prabhu, ada yang Sunan Prabu. Dalam Wawacan jelas-jelas ditulis Sunan, tegasanya Sunan Talaga Manggung, bukan Prabu. Ada dua kemungkinan. Pertama, memang itu “bahasa Sunda” seperti biasa menyebut Sunan Ambu, dan biasa digunakan untuk menggelari raja-raja atau “raja kecil” [tapi harus dilacak raja-raja sejaman ada tidak yang menggunakan gelar Sunan itu; tampaknya tidak ada!]. Kedua, itu karena ditulis kemudian, setelah gelar Sunan populer digunakan orang-orang terhormat mulai zaman para wali (Wali Sembilan–Jadi, Sunan Talaga Manggung sejaman dengan Sunan Gunung Jati?). Pemikiran terakhir ini, yaitu julukan itu diberikan kemudian setelah gelar Sunan populer di masyarakat, yang tampaknya paling logis. Artinya, pada ketika menjadi raja, Talaga Manggung tidak bergelar Sunan, kemungkinan gelarnya Prabu, seperti lazimnya raja-raja Pajajaran (dan Galuh). Gelar Sunan yang ditempelkan ke Talaga Manggung akan memberi kesan ia seorang Muslim.

Pada bahasan lain akan diketahui bahwa Raffles selalu menyebut naskah kuno (manu scrit) yang berasal dari Talaga itu dengan menyebut “Tumung’gung de Telaga.” Naskah kuno (zodiak dan pasaran) itu dari Tumunggung Talaga, yang dalam bahasa populer di Indonesia (jawa, lalu diambil juga oleh Sunda) disebut “Tumenggung . . .”, jadilah Tumenggung Talaga (bukan Talaga Manggung).

d. Senjata pembunuh Talaga Manggung

Dalam berbagai ceritera, senjata yang digunakan Simbar Kancana untuk membunuh suaminya, Palembang Gunung, setelah diketahui sebagai dalang pembunuhan ayahnya itu, tusuk konde Simbar Kancana. Dalam Wawacan jelas-jelas disebutkan itu keris. Nah, jangan-jangan keris itu adalah keris yang digunakan Palembang Gunung untuk membunuh Sunan Talaga Manggung juga (Jadi seperti ceritera Keris Empu Gandring).

Contoh Beragam Tusuk Konde

Ada yang menyebut, dalam ceritera lain, senjata yang digunakan untuk membunuh Sunan Talaga Manggung itu adalah “cis” milik Sunan Talaga Manggung sendiri yang dicuri Palembang Gunung, karena hanya dengan “cis” itulah Talaga Manggung bisa meninggal. Cis itu apa, tidak jelas. Katanya seperti tombak kecil atau sekin.

Contoh beberapa macam tombak kecil

“Sekin” (as-sikkiin” itu bahasa Arab, artinya pisau). Wah, ini sudah tertulari bahasa Arab! Tapi, bisa juga sudah ada pisau “sekin” alias pisau Arab di Talaga (dan dianggap sakti), karena kerajaan-kerajaan Indonesia sudah biasa berhubungan dengan orang-orang Arab, utamanya di pesisir (pelabuhan). Di bawah ini beberapa gambar sekin pisau Arab. Adakah di Museum Talaga Manggung pisau “sekin” Arab itu?

Beberapa Macam “Sikkiin” Alias Pisau Arab

Nah, jadi, Palembang Gunung itu dibunuh pakai tusuk konde, tombak kecil, ataukah sekin? Tidak ada keterangan pasti. Oleh karenanya mengikut sajalah pada “Wawacan,” dibunuh menggunakan keris, keris yang kecil. Atau, pakai kujang kecil?

Contoh kujang mini dan keris mini

2. Kanda Babad Talaga

Naskah kedua berjudul Kanda Babad Talaga, karangan R. Kartadilaga,  dibuat tahun 1939, dan disalin kembali oleh R. Kartadilaga dan H. Hasanoedin tahun 1940. Naskah ditulis dengan aksara Latin, berbentuk puisi (beragam pupuh). Isinya riwayat kerajaan Talaga dan kisah perjalanan haji penulisnya.

3. Ringkasan Sejarah Talaga

Naskah ketiga berjudul Ringkasan Sejarah Talaga. Pengarang naskah ini tidak diketahui. Naskah dibuat tahun 1981. Naskah ini merupakan ringkasan dari Wawacan Talaga Manggung, ditulis dalam bahasa Indonesia. Ringkasan dimulai dari Nabi Adam sampai pembunuhan Sunan Talaga Manggung yang naik tahta pada tahun 1927 (?–tanda tanya dari penyusun Katalog–Pen.). Peristiwa itu sendiri terjadi abad ke-13/14 (Jadi, mungkin maunya penulisnya menuliskan bahwa dimaksudkan Sunan Talaga Manggung naik tahta tahun 1297 M.–Pen.).  Naskah diakhiri silsilah keturunan Talaga sampai dengan tahun 1980.

4. Sadjarah Talaga

Naskah keempat berjudul Sadjarah Talaga,  berbentuk prosa, pengarangnya juga tidak jelas, dan dibuat abad ke-19. Isinya berupa silsilah (yang tertulis dalam naskah itu mulai dari kata-kata “terus putera, didjenengan, 1. Kangdjeng Nabi Adam, 2. Isis . . .“).

5. Sadjarah Talaga (Sarsilah Para Loeloehoer Talaga)

Naskah kelima berjudul Sadjarah Talaga (sampul), Sarsilah Para Loeloehoer  Talaga (halaman awal). Naskah berbentuk  prosa, penyalinnya (bukan pengarangnya–Pen.) R. Mardinah, dibuat tahun 1940. Isi naskah diawali dengan silsilah Talaga, kemudian berupa riwayat  Sunan Talaga Manggung sampai pernikahan putrinya Simbar Kancana kepada Ajar Kutamanggung dan keturunannya. [Tidak dijelaskan naskah ini merupakan salinan dari yang mana. Kemungkinan salinan karangan Kartadilaga. Mardinah itu R. Mardinah Kartadilaga (Subarna), tapi kenapa tahun penulisannya sama? Berarti mungkin menyalin dari naskah yang lain, entah yang mana.]

6. Komentar Terhadap Naskah-naskah

Dengan memperhatikan isi naskah-naskah itu, dapat diduga bahwa ada satu naskah yang ditulis dalam aksara Sunda cararakan.  Naskah ini disalin ke dalam aksara pegon, juga aksara Latin dengan bahasa Sunda, dan aksara Latin dalam bahasa Indonesia (tahun 1981). Tampaknya, menurut keinginan masing-masing, tulisan itu jadi berbeda-beda. Tampaknya lagi, yang merupakan salinan utuh adalah Wawacan Talaga Manggung, tetapi sekaligus salin-huruf dari cacarakan ke pegon, dibuat tahun 1942 oleh Arga Rapei. Naskah itu yang disimpan oleh kuncen Situ Sangiang. Jadi, sebenarnya satu-satunya yang dapat dianggap sumber “asli” Kerajaan Talaga adalah Wawacan Talaga Manggung. Lain-lainnya bersumber pada wawacan ini, atau dari ceritera lisan yang mungkin juga bersumberkan wawacan ini.

Wawacan Talaga Manggung pun, seperti telah disebutkan di atas, diduga merupakan salinan dari naskah yang tidak disebutkan.  Kenapa disalin? Mungkin aslinya bertuliskan aksara Sunda, sehingga tidak semua orang pada masa itu (1940-an) akan bisa membacanya. Kalau dengan tulisan pegon, bukan juga aksara Latin, banyak yang bisa membacanya. Orang Talaga masa itu kebanyakan tentu bisa baca huruf Arab, karena biasa mengaji, sementara aksara Latin belum dikenal mereka, karena “tidak bisa sekolah walanda.” Penyalinnya tentu merasa perlu menyalin wawacan tersebut agar “sajarah Talaga” bisa diketahui “anak-cucu” yang hanya bisa membaca aksara pegon. Walaupun, pada tahun 1940-an itu Kartadilaga (?) sudah menyusun sejarah Talaga itu dengan aksara Latin.

Penyalinan dari aksara Sunda ke aksara pegon ini memungkinkan terjadinya perubahan kata-kata tertentu, karena mungkin ada kata-kata tertentu dalam aksara Sunda yang tidak bisa dibaca begitu saja dengan tepat. Kedua, tidak mudah menuliskan kata-kata Sunda buhun dan serapan dari kata-kata Sansekerta ke dalam aksara pegon. Hal seperti itu dapat pula terjadi pada salinan dari pegon ke aksara Latin pada “Sadjarah Talaga” versi Latin.

Dalam naskah-naskah di atas, penulisan yang tidak sama misalnya terjadi pada nama Raden Ajar Kuta Mangu (Wawacan; pegon) yang di tempat lain ditulis Ajar Kutamanggung (Sadjarah Talaga/Sarsilah; Latin). Jadi, yang benar Kutamangu atau Kutamanggung? Ini bisa terjadi dengan nama Sunan Talaga Manggung (Talagamanggung). Talaga Mangu ataukah Talagamanggung?

Belum lagi, seperti akan dipaparkan dalam bagian lain, “temuan” Raffles berupa manuskrip (naskah kuno) dari Talaga itu selalu disebutnya dengan “dari Tumung’gung de Telaga a Cheribon” alias dari Tumunggung (Tumenggung, Tumanggung) Talaga. Jangan-jangan nama Talaga Manggung itu yang benar adalah Tumenggung Talaga. Talaga Manggung hanyalah seorang tumenggung dari Kerajaan Galuh, karena Kerajaan Talaga sebenarnya bukan kerajaan mandiri, melainkan “bawahan” Kerajaan Galuh. Atau, Raffles salah, mengira Talaga Manggung itu Temanggung (Tumung’gung) Talaga? Tapi, jangan-jangan Rafles justru memperbaiki kesalahan penyebutan “urang Talaga” menyebut Sunan Talaga Manggung, padahal mestinya Tumenggung Talaga (Tumung’gung de Talaga).

B. Mencari Rujukan Baku: Wawacan Bujangga Manik (Totopografi Prabu Jaya Pakuan)

1. Objektivitas dan Subjetivitas Wawacan

Jika ingin melacak Talaga, penting untuk dirujuk Wawacan Bujangga Manik yang menyebutnya. Naskah ini diakui sebagai catatan perjalanan sejarah (topografi) yang benar, walaupun agak subjektif. Sisi subjektifnya–menurut ulasan yang logis–Bujangga Manik (nama aslinya Prabu Jaya Pakuan) tidak menuliskan kerajaan-kerajaan Islam yang baru tumbuh. Kenapa? Karena ia bukan orang Islam, dan tak peduli pada Islam. Ia hanya mengunjungi “kabuyutan-kabuyutan” dan padepokan serta kerajaan Hindu-Budha dan daerah-daerah Hindu-Budha. Sedikit yang disinggungnya mengenai yang berbau Islam.  Itu menurut Edy S. Ekadjati.

Noorduyn dalam tulisannya berjudul Bujangga Manik’s journeys through Java; topographical data from an old Sundanese source [Perjalanan Bujangga Manik menjelajah Jawa; data topografi tempat-tempat dari sumber Sunda kuno] berpendapat karena miskin sekali kata-kata yang berbau kearab-araban, itu memang belum masa Islam, masih masa Hindu Budha.

Ini tulis Noorduyn:

It is clear from the text itself that it dates from pre-Muslim times [Tampak jelas dari naskah itu sendiri bahwa naskah itu ditulis pada masa pra-Islam].
The script used in the MS is the usual Old Sundanese variety of the
Indonesian family of Indic syllabaries, which feil into disuse after the
penetration of Islam into western Java. [Tulisan berhuruf “Sunda pertengahan” itu menggunakan ragam bahasa Sunda kuno dari “keluarga” bahasa “India” [Indonesia] yang sebagian tidak digunakan lagi setelah pengaruh Islam masuk].  The language represents an older stage of Sundanese, beset with problems for the interpreter due to our ignorance concerning those of its elements which have long since become obsolete — the main reason why a critical edition of the text has not yet been completed. [Bahasa yang digunakan yang  merupakan bahasa Sunda kuno itu menjadikan penerjemah sulit memberi maknanya, karena ada beberapa unsur bahasa yang sudah sangat lama tidak digunakan lagi–itulah tampaknya kenapa edisi kritis mengenai naskah tersebut belum lagi bisa terselesaikan]. It displays a marked influence from Javanese but does not contain one word which is traceable to Arabic, the language of Islam. In the content of the story, too, Islam is completely absent [Naskah tersebut banyak dipengaruhi kata-kata bahasa Jawa, tetapi tidak ada kata-kata bahasa Arab, bahasa agama Islam,  sedikitpun yang bisa terlacak daripadanya. Dalam isi ceriteranya pun, Islam sama sekali tidak tampak].

Jadi, jika Noorduyn menyebut naskah itu ditulis pada masa pra-Islam, sebelum Islam “masuk” ke Pajajaran, penulis lainnya yakin itu sebenarnya ditulis sudah masa Islam, hanya Bujangga Manik “tidak mau tahu” dengan keberadaan Islam dan “daerah-daerah” Islam, dan atau enggan menyebut-sebutnya, apalagi menggunakan kata-kata yang berbau Islam (Arab).

Kenapa Bujangga Manik “kurang peduli” pada wilayah-wilayah Islam? Ekajati menebak karena ia “satria-pinandita” Pajajaran yang Hindu-Sunda yang lebih suka mengunjungi daerah-daerah Hindu/Budha. Ini seperti dikatakan Noorduyn bahwa walau ia tohaan (pangeran Kerajaan Pakuan) yang lebih suka menjadi “bagawan/batara.” Tulis Noorduyn:

The hero of the story is a Hindu-Sundanese hermit, who, though a prince (tohaan) at the court of Pakuan (which was located near present-day Bogor in western Java), preferred to live the life of a man of religion. As a
hermit he made two journeys from Pakuan to central and eastern Java
and back, the second including a visit to Bali, and after his return lived
in various places in the Sundanese area until the end of his life. [Yang menjadi tokoh dalam ceritera itu adalah seorang pertapa Hindu-Sunda, yang, walau ia seorang pangeran (tohaan) Kerajaan Pakuan (yang berlokasi di dekat kota Bogor, Jawa Barat, sekarang), tampaknya ia lebih suka menjadi “orang agamawan.” Sebagai pertapa, ia mengadakan dua kali perjalanan dari Pakuan ke Jawa bagian tengah dan timur bulak-balik, yang pada perjalanan kedua kalinya termasuk mengunjungi Bali, dan setelah kembali ke Pakuan, ia menjalani hidupnya di berbagai daerah di wilayah Sunda sampai akhir hayatnya].

Seperti telah disebutkan, karena Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) menyebut Demak (dan juga Majapahit dan Malaka), Noorduyn lalu menyimpulkan bahwa Wawacan Bujangga Manik itu ditulis pada abad XV (paling tidak di akhir-akhirnya) atau agak ujung dari masa awal-awal abad XVI.

More specifically the mention of Majapahit, Malaka and Dëmak allow us, as we shall see, to date the writing of the story in the 15th century, probably the latter part of this century, or the early 16th century at the latest. [Khususnya karena Bujangga Manik menyebut-sebut Majapahit, Malaka dan Demak, maka memungkinkan kita, seperti akan kita bahas nanti, untuk menetapkan bahwa naskah ceritera perjalanan  itu ditulis pada abad ke-15, mungkin di penghujung abad tersebut, atau di penghujung  awal-awal abad ke-16].

Nah, komentar lengkap Edi S. Ekadjati tentang perjalanan Bujangga Manik yang “tidak peduli” dengan negara-ngara Islam itu seperti ini (Edi S. Ekajati, Islam, Agama Pilihan Utama dan Abadi Orang Sunda; diunduh online dari”Islam dan Orang Sunda,”–www.oocities.com).

Berdasarkan berita Tome Pires tersebut, proses pengislaman Cirebon sehingga menjadi wilayah kaum Muslimin terjadi sekira tahun 1473. Informasi tersebut sejalan dengan peraturan yang diungkapkan sumber tradisi Cirebon antara lain dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari yang menyatakan bahwa Cirebon yang penduduknya sudah Muslim melepaskan diri dari keterikatan dengan Kerajaan Sunda pada tahun 1479.

Itulah sebabnya, kiranya Bujangga Manik, seorang keluarga Keraton Pakuan Pajajaran yang sesungguhnya bernama Prebu Jaya Pakuan dan dua kali melakukan perjalanan darat dari ibu kota Pakuan Pajajaran (kota Bogor sekarang) ke tanah Jawa melalui daerah jalur utara pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 serta kisah perjalanannya diabadikan dalam karya tulisnya berjudul Bujangga Manik, seperti menghindari singgah di kota Cirebon, bahkan menyebutkannya pun tidak. Padahal, rute perjalanannya melalui daerah sebelah utara Gunung Ciremai.

Mustahil ia tidak tahu kota pelabuhan Cirebon yang cukup besar, padahal ia menyebut Gunung Ciremai dan beberapa nama tempat kecil di selatan Cirebon, seperti Timbang, Kuningan, Luhur Agung (Luragung), Darma — semua tempat itu berada di daerah Kabupaten Kuningan sekarang. Memang yang dikunjungi dan disebutkan namanya oleh Bujangga Manik, terutama tempat-tempat keagamaan yang bersifat Hindu-Budha. Akan tetapi, nama wilayah Demak yang tentu sudah Islam disebutnya walaupun tidak disinggahi.

Ketika melewati sekitar Cirebon, pandangan Bujangga Manik seperti hanya diarahkan ke selatan dan tak pernah menengok ke utara dan rute perjalanannya pun menjauh ke pedalaman. Selain itu, Bujangga Manik sama sekali tidak menyebut adanya agama atau penganut agama Islam, baik di tanah Sunda maupun di tanah Jawa. Padahal, pada waktu itu sudah banyak pemeluk agama Islam berdatangan dan menetap di pesisir utara Pulau Jawa dengan mata pencaharian berdagang.

Tatkala pulang dari perjalanan pertama, ia menumpang kapal milik pedagang Malaka dari pelabuhan Pemalang dan ia sangat dihormati oleh kapten kapalnya yang sangat mungkin sudah beragama Islam. Dalam pertemuannya dengan orang asing (keling, Cina, Bugis), ia hanya menyebut identitas negeri dan bangsanya saja, sama sekali tidak menyebut identitas agamanya. Padahal, ia sendiri seorang penganut agama yang taat dan sedang dalam perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci keagamaan (mandala) serta kemudian megabdikan dirinya dalam kegiatan keagamaan dengan menetap di beberapa pertapaan sampai akhir hayatnya.

2. Tulisan Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik)

Di bawah ini dinukilkan sebagian dari  tulisan Bujangga Manik yang ditulis setelah perjalanan keliling Jawa yang pertama (Bujangga Manik dua kali keliling nusantara), seperti yang dikutip Noorduyn.

Sadatang ka tungtung Sunda [When I reached the limits of Sunda],
meu(n)tasing di Cipamali, [I crossed the river Pamali],
datang ka alas Jawa. [(and) came to the Javanese territory].
Ku ngaing geus kaidëran [I wandered through],
lurah-lërih Majapahit, [the several districts of Majapahit (and)],
palataran alas Dëmak. [the plains of the region of Dëmak].
Sanëpi ka Jatisari [After reaching Jatisari]
datang aing ka Pamalang. [I came to Pamalang].
(lines 80-87)

Sebentar, saya suka lupa, seolah yang membaca hanya orang-orang Sunda yang paham tulisan Bujangga Manik, walau tak paham bahasa Ingris. Saya lupa pula, bahwa yang paham bahasa Sunda belum tentu paham bahasa Inggris. Jadi, ini isi ceritera Bujangga Manik tadi.

Seketika aku sampai ke ujung perbatasan tatar Sunda / aku seberangi sungai Cipamali / dan tibalah aku di wilayah Jawa. / Olehku sudah terkelilingi / lembah dan dataran Majapahit / [dan]wilayah Demak juga. /Sesampai aku di Jatisari /sampailah aku ke Pamalang.

Wilayah “urang Sunda” saat itu, menurut data Bujangga Manik, jadinya sampai sungai Cipamali (Brebes sekarang). Itu kenapa nama sungainya disebut Cipamali yang beraksen Sunda, bukan Kali Pemali yang beraksen Jawa.

Kembali ke masa penulisan Wawacan Bujangga Manik yang dipastikan ditulis setelah Demak ada, karena selain Majapahait, telah disebut-sebut pula bahwa Bujangga Manik sudah mengitari wilayah (palataran) Demak. Kapan Demak itu ada?

Ihwal Demak, berikut dinukilkan tulisan mengenainya. Yang penting dicatat adalah bahwa Raden Patah memerintah Kerajaan Demak tahun 1478-1518 M. Ini mengapa orang memperkirakan Bujangga Manik bepergian (menuliskan catatan perjalanannya) itu pada akhir abad XV atau awal abad XVI (katakanlah di antara tahun 1475 – 1525 M.), ketika Demak sudah mulai berdiri, dan Majapahit masih ada. Majapahit tidak musnah pada saat sesuai candrasangkala “Ilang Sirna Krtaning Bhumi” (1400 Saka atau 1478 M.), karena masih ada penerus-penerus lain yang terpecah-pecah dan berebut kekuasaaan (antara lain sampai-sampai terjadi “bharatyudha” Perang Paregreg). Ini nukilan apa adanya (termasuk salah ketiknya).

Kesulitan melacak keberadaan keraton, dimungkinkan karena masa pemerintahan kerajaan Demak tak berumur panjang, yakni hanya tiga generasi saja. Sultan Fattah memerintah tahun 1478 M – 1518M, Adipati Unus (Pangeran Sabrang Lor) hanya memerintah selama tiga tahun yaitu 1518 M – 1521M. Dilanjutkan Sultan Trenggono memerintah tahun 1521M – 1546M, yang sekaligus menjadi sultan terakhir di kesultanan Demak. Setelah itu terjadilah perebutan kekuasaan antar keluarga antara Aryo Penangsang dan Jaka Tingkit yang akhirnya dimengkan [dimenangkan] oleh Jaka Tingkir. Kemudian pusat pemerintahan kerajaan [dipindahkan] ke Pajang (dekat Solo) di perintah oleh Sultan Hadi Wijaya (Jaka Tingkir). Sejak saat itu era kerajaan Demak praktis telah berakhir, dengan meningglkan banyak catatan sejarah yang hilang.

Sekali lagi, untuk diingat agar dalam bahasan berikut sambung, Wawacan Bujangga Manik diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-15 (sekitar 1475 ke atas) atau pada ujung awal-awal abad ke-16 (sekitar 1525 ke bawah), pada saat Demak sudah ada (1478).

3. Kerajaan dan Kota Seputar Ciremay Versi Bujangga Manik

Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) menyebut beberapa daerah (“alas”) dan kota di sekitar Gunung Ciremay. Mari kita lihat apa yang ditulisnya. Pertama, dari Wawasan Nusantara online (dan banyak yang mengutip sama), sebagai berikut.

Nepi aing ka Cinangsi [Aku sampai ke Cinangsi],
meuntas aing di Citarum. [(lalu) aku menyeberang di (sungai) Citarum].
Ku ngaing geus kaleumpangan, [Olehku sudah terjelajahi (daerah sebelah timur Citarum)],
meuntas di Cipunagara, (lalu aku)[menyebrang di (sungai) Cipunagara],
lurah Medang Kahiangan, [(dan masuk ke) daerah Medang Kahiangan],
ngalalar ka Tompo Omas, [(setelah) singgah ke (daerah seputar) Gunung Tompo Omas],
meuntas aing di Cimanuk, [(lalu) aku menyeberang di (sungai) Cimanuk],
ngalalar ka Pada Beunghar, [singgah (aku) di Pada Beunghar],
meuntas di Cijeruk-manis, [(setelah itu lalu aku) menyeberang di (sungai) Cijeruk-Manis],
ngalalar aing ka Conam, [(singgah aku) ke Conam],
katukang bukit Caremay. [di belakangku (kutinggalkan) Gunung Caremay].

Itu ta bukit Caremay, [Itu yang itu Gunung Caremay],
tanggeran na Pada Beunghar, [pertanda (letak) Pada Beunghar],
ti kidul alas Kuningan, [(yang) di arah selatannya (ada “alas”) daerah Kuningan],
ti barat na Walang Suji, [(dan) di arah baratnya (terletak) Walang Suji],
inya na lurah Talaga. [yang adanya di daerah (“lurah”) Talaga].
Itu ta na Tompo Omas, [Yang itu Gunung Tompo Omas],
lurah Medang Kahiangan. [(adanya di wilayah “lurah”) Medang Kahiangan].

Pada naskah yang lain, tulisan J. Noorduyn dan A. Teeuw, “A Panorama of the World from Sundanese Perspective,” [Panorama Dunia menurut Gambaran orang Sunda], Archipel 57, Paris, 1999, diunduh online dari “Persee Scientific Journal,” baitnya tertulis sebagai berikut.

Itu bukit Pam(e)rehan (That was the Mount Pamrehan — Itu yang itu gunung Pamerehan) / ta(ng)geran na Pasir Batang (the pillar of Pasir Batang — pertanda adanya Pasir Batang) / Itu ta na Gunung Kumbang, (that was Mount Kumbang — Itu yang itu Gunung Kumbang) /ta(ng)geran alas Maruyung (the pillar of Maruyung — pertanda adaanya daerah “alas” Maruyung) / ti kaler alas Losari (to the north the territory of Losari — yang di utaranya ada daerah “alas” Losari) / Itu ta bukit Caremay (That was Mount Caremay — Itu yang itu gunung Caremay) / tanggeran na Pada Beunghar (the pillar of Pada Beunghar — pertanda adanya Pada Beunghar) / ti kidul alas Kuningan (and to the south the territory of Kuningan —  yang di sebelah selatannya ada daerah “alas” Kuningan) / ti barat na Walang Suji (to the west Walang Suji — yang di baratnya ada Walang Suji) /inya na alas Talaga (that is the district of Talaga — yang adanya di daerah “alas” Talaga)/Itu bukit Pam(e)rehan (That was the Mount Pamrehan — Itu yang itu gunung Pamerehan).

Jika diceriterakan lagi dengan “bahasa sekarang,” Bujangga Manik menunjuk, “Itu tuh Gunung Pamrehan, petunjuk adanya Pasir Batang. Yang itu Gunung Kumbang, pertanda “alas” Maruyung, yang di utaranya ada Losari. Yang itu Gunung Caremay, sebagai penunjuk adanya Pada Beunghar, yang di selatannya ada “alas” Kuningan, dan yang di baratnya ada Walang Suji, yang berada di “alas” Talaga.

Jadi, menurut nukilan tersebut, di sekitar Gunung Ciremay itu ada “kota” Pada Beunghar, yang di selatannya ada “alas” Kuningan. Jadi Pada Beunghar ada di sebelah utara Kuningan. Di sebelah barat Gunung Ciremay ada “kota” Walang Suji yang berada di “alas” (“lurah”) Talaga.

Peta Karesidenan Cirebon 1857

Menuju kawah Gunung Ciremay: Adakah situs-situs bersejarah di sekitarnya?

Nah, mari kita ambil sebagai sumber yang kita anggap lebih tepat dalam mengutip naskah aslinya, yaitu tulisan (bahasan) yang ditulis Noorduyn dan Teeuw. Dari sumber ini diketahui bahwa menurut Bujangga Manik, di sekitar Gunung Ciremay itu ada Gunung Pamrehan (Pamerehan) yang menjadi pertanda (penunjuk, “tangeran,” “tetenger”–Jawa) adanya (kota, “kampoeng”) Pasir Batang. Lalu ada pula Gunung Kumbang, penunjuk wilayah Maruyung, yang di utaranya ada daerah Losari.

Di  Gunung Caremay (Ciremay, Careme) sendiri ada (kota) Pada Beunghar yang Gunung Ciremay menjadi penunjuk keberadaannya. Di sebelah selatan Pada Beunghar ada wilayah (alas) Kuningan, sementara di sebelah barat Gunung Ciremay ada (kota, “dayeuh,” kampoeng) Walang Suji,  “dayeuh” ini ada di wilayah (lurah, alas)  Talaga.

Seperti telah disebutkan, tulisan Bujangga Manik itu ditulis sekitar akhir abad XV atau awal abad XVI (katakanlah antara 1475 s.d. 1525 M.–Demak ada sekitar 1475-an juga). Naskah tersebut sudah tersimpan di Perpustakaan Bodleian, Oxford (Oxford Inggris–ada yang menulis Oxford Amerika Serikat; sekali lagi, yang betul Oxford Inggris, tepatnya di University of Oxford, bukan Massachusetts, A.S.), sejak tahun 1627 atau 1629.

PERPUSTAKAAN BODLEIAN OXFORD BENTUK OVAL)

Perpustakaan Bodleian, Universitas Oxford, Inggris

a. Pada Beunghar dan Lurah Agung (Minus Rajagaluh dan Sindangkasih)

Sebelum membicarakan Talaga, patut dicatat bahwa ada dua nama lain yang disebut di Gunung Ciremay, yaitu “kota” (dayeuh) Pada Beunghar dan wilayah (alas) Kuningan. Saya sebut kota (dayeuh) apapun yang Bujangga Manik  tidak sebut sebagai “alas” atau “lurah.” Yang disebut “alas”  tampaknya menunjuk pada daerah (yang masih berhutan-hutan; “alas” Jawa = hutan) sementara “lurah” wilayah pemerintahan. Tapi, Noorduyn akhirnya memutuskan semuanya sebenarya menunjuk sama, daerah atau wilayah. Talaga, misalnya di satu kutipan lurah, di kutipan lain disebut alas.

“Lurah” bisa mengandung arti pula “jurang yang dangkal, atau lembah.” Jadi, “Lurah Agung” (yang sekarang jadi Luragung)  itu sebenarnya bisa berarti “jurang atau lembah yang besar,” tidak harus berarti Bapak Lurah yang Agung.  “Raden Panglurah” (Kerajaan Talaga) dapat berarti pangeran yang memimpin di daerah yang ada jalur jalan (“pang”) ke lembah atau jurang (“lurah”). Jangan-jangan daerah “lurah” di Talaga itu desa Genteng (“genteng” artinya sempit, tanah sempit karena kiri kanannya ada “lurah” alias jurang dangkal. )

Yang menarik dari catatan ini adalah bahwa ada “dayeuh” Pada Beunghar, tetapi tidak disebut-sebut “kerajaannya.” Pada Beunghar, jika merujuk yang ada sampai sekarang, berada di sebelah timur  selatan Rajagaluh. Rajagaluh sebagai kerajaan tidak disebut-sebut, padahal jelas bagian dari Kerajaan Galuh (Kawali) dan beragama Hindu-Budha. Disebut-sebut dalam Carita Parahyangan yang “ditaklukkan “Islam”–“datang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh”). Kuningan malah kebalikannya, yang disebut “alasnya” bukan kotanya.  Apakah Pada Beunghar nama “kota” sekaligus “daerah pemerintahan,” dan sebaliknya, Kuningan itu nama “alas” sekaligus “kotanya.” Talaga jelas disebut “lurah” sementara kotanya Walang Suji. Mungkinkah Rajagaluh itu tadinya Pada Beunghar? “Pada” artinya kaki gunung, “beunghar” artinya kaya atau “sugih-mukti.” Mirip dengan loh jinawi (loh = tanah, jinawi = subur-makmur). “Raja” artinya yang menguasai, “galuh” artinya permata; rajagaluh sama artinya dengan yang banyak mempunyai permata, alias kaya.

Selain itu, yang sering disebut-sebut dengan Kerajaan Sindangkasih (Majalengka) sama sekali tidak disebut-sebut oleh Bujangga Manik. Padahal, konon, Sindangkasih itu, “baru” hilang tahun 1490 M. (akhir abad XV). Karena sudah hilang lalu tak dikunjungi dan dicatat Bujangga Manik? Ataukah memang tidak ada. Kalau hilang, kenapa Majalengka sebagai pengganti Sindangkasih juga tidak disebut-sebut? Karena sudah Islam? Atau memang Kerajaan Majalengka juga tidak pernah ada (dan memang tidak pernah ada, tak pernah tersebut dalam sejarah). Adanya, menurut besluit (surat keputusan) Belanda hanya nama Kabupaten Maja (1819) yang beribu kota di Sindangkasih, “diganti” (1840) menjadi Majalengka dengan ibu kotanya juga Majalengka. Siapa bilang Majalengka ketika (sebelum) itu sudah ada? Majalengka baru ada tahun 1840 sesuai besluit Belanda tersebut. Ada nama kabupaten yang baru, dan ada kota bentukan baru yang dijadikan ibu kota. Kecuali Junghuhn yang menulis dalam petanya nama kota Sindangkasih (Majalengka) dalam titik bundaran simbul kota yang sama, yang artinya kota Sindangkasih berubah jadi Majalengka. Desa Sindangkasih yang masih ada sampai sekarang tidak tahu sebagai apa, padahal jalur jalan ke Talaga (Walang Suji) dari Tomo dan Karangsambung beheula itu pasti lewat Sindangkasih sekarang, tidak lewat Cigasong.  Belanda masih memetakan jalur jalan demikian.

Perlu dicatat bahwa yang diulas Noorduyn di atas adalah catatan Bujangga Manik dalam “pantun” wawacan pada baris-baris awal atau nomor kecil. Pada baris-baris lain, bernomor besar, disebut-sebut bahwa di sekitar Ciremay itu ada Timbang, Hujung Barang, Kuningan, dan Darma Pakuan (Darma dan Pakuan?), dan juga Lurah Agung. Noorduyn menyebut yang bisa terlacak sampai sekarang (saat Noorduyn menulis, 1982) hanya Kuningan dan Darma (termasuk Lurah Agung yang sekarang jadi Luragung, yang suka salah sebut jadi Lurahgung). Mari kita bahas.

b. Hujung Barang, Timbang, Darma, Pakuan

Next Bujangga Manik crossed the Ci-Manuk, not far to the east of
Sumedang [Selanjutnya Bujangga Manik menyeberangi sungai Cimanuk, yang tidak berada jauh di sebelah timur  Sumedang], passed Pada Beunghar, not far north of Mt. Cërëmay [lalu menyinggahi Pada Beunghar yang berada tidak jauh di sebelah utara gunung Ceremay],
crossed the Ci-Jëruk-manis (“sweet orange”), now called Ci-Jëruk,
which flows eastward from Mt. Cërëmay, and passed Coman (unidentified) (11. 73-76; 719-722) [kemudian menyeberangi sungai Cijerukmanis yang sekarang disebut Cijeruk, yang mengalir ke arah timur laut dari gunung Ciremay, lalu menyinggahi Coman, yang belum diketahui sekarang bernama apa–baris 73-76 dan 719-722]. After leaving Mt. Cërëmay (which he had passed on its northern side) behind him (11. 77; 723) [Setelah meninggalkan wilayah gunung Ceremay yang ia lalui lewat sebelah utaranya–baris 77 dan 723] , he passed Timbang, Hujung Barang, Kuningan, and Darma (and?) Pakuan (11. 724-725), of which only Kuningan, southeast of Mt. Cërëmay, and Darma, southwest of Kuningan, still exist today [ia menyinggahi Timbang, Hujung Barang, Kuningan, dan Darma (dan?) Pakuan–baris 724-725]. Then he came to Luhur Agung (now: Luragung, sometimes incorrectly called Lurahgung) and crossed the nearby Ci-Singgarung, now: Ci-Sanggarung (11. 78-79; 727-728) [Kemudian ia sampai di Luhur Agung yang sekarang disebut Luragung, yang kadang kala salah sebut menjadi Lurahgung, dan kemudian menyeberangi sungai di dekatnya, yitu Cisanggarung–baris 78-79 dan 727-728].

Timbang

Noorduyn kesulitan menemukan daerah (dayeuh) Timbang dan Hujung Barang, dan Pakuan, jika itu tidak menjadi satu kesatuan nama dengan Darma (Darma Pakuan). Daerah (kota, sekarang desa) Timbang itu ternyata sebenarnya ada, yaitu di sebelah timur Cilimus. Tidak terkenal memang. Hampir tidak pernah disebut-sebut dalam berbgai catatan tentang sejarah Kuningan. Jadi, katakanlah “dicurigai” yang disebut Timbang oleh Bujangga Manik itu daerah Timbang yang ada di Kecamatan Cilimus. Perlu dilacak oleh “sejarahwan” Kuningan! Walau Edi S. Ekajati yakin itu memang desa Timbang sekarang.

Darma-Pakuan (Darma-Pakuwon)

Sementara Pakuan tampaknya (“dicurigai”)  sudah berubah menjadi Cipaku, sebuah kampung di desa Linggajati (yang terkenal sebagai tempat perjanjian dengan Belanda itu) berada. Hanya saja, karena disebut bersamaan dengan Darma, agak kurang meyakinkan juga menyebutnya berada di Linggajati yang masih di sebelah utara (Darma di selatan). Jadi, mungkin Cipaku dekat Darma, kalau ada. Sampai saat ini tidak ada desa (entah kalau kampung atau blok) yang disebut demikian.

Cipaku Lingajati (Linggarjati) patut dicurigai sebagai dulunya bekas  Pakuan (bukan Pakuan Pajajaran) karena di situ banyak sekali nama desa (dusun) yang dimulai dengan kata lingga (Linggasana, Linggajati, Linggamekar, Linggaindah; dua terakhir tampaknya “bentukan baru,” karena ada Linggajati yang terkenal, lalu ikut “nebeng” kata “lingga”-nya). Itu artinya mungkin ada “linggajati” tinggalan Pakuan, entah di mana (mungkin “batu lingga” yang konon sekarang menghilang). Belum ada yang mencoba meneliti ini, karena “naskah Bujangga Manik” belum banyak yang menelusuri dengan cermat.

Jalan Cipaku di depan Gedung Pertemuan Linggarjati

STOP!

Lebaran kemarin (31 Agustus 2011) saya menyempatkan diri rekreasi bersama keluarga di Waduk Darma. Menyewa satu perahu, murah hanya Rp 100.000,00 per perahu (jika per orang Rp 10.000,00). Tukang perahunya bernama Mang Suhar. Iseng saya tanya apa ada nama kampung di Darma yang menggunakan nama “paku.” Ia semula menunjuk ke Cipaku Linggajati juga. Setelah saya jelaskan bahwa dulu Bujangga Manik Pajajaran menyebut “kerajaan Darma-Pakuan” ia lalu menyebut nama kampung Pakuwon. Itu bersebelahan saja dengan kampung Darma. Kampung Pakuwon itu jika dari “terminal” perahu motor ada di sebelah kanan waduk, di tepi waduk (selatan waduk). Selesai sudah teka-teki Darma-Pakuan. Itu satu nama gabungan dari dua wilayah: Darma dan Pakuan (Pakuwon). Hanya saja, karena namanya menjadi Pakuwon, maka pasti akan “dikiratabasakan” sebagai tempat Embah Kuwu (kuwu= lurah = kepala desa), padahal itu terkait dengan pohon paku (pakis).

Tambah lagi, dari waduk Darma akan kelihatan gunung yang lebih rendah dari gunung Ciremay. Mang Suhar menjelaskan itu Gunung Gegerhalang. Selesai lagi satu masalah mengenai di mana kaldera Geger Halang sebagai awal mula Gunung Ciremay yang saya coba lacak lewat peta. Jadi Gegerhalang ada di sebelah timur-selatan gunung Ciremay sekarang.

Hujung Barang (Ujung Berung Rajagaluh)

Saya juga “curiga” dengan nama Hujung Barang. Nama itu identik dengan H(U)jung Berung, dan Ujung Berung itu ada di sebelah timur dekat sekali dengan Rajagaluh. Hanya saja urutan penyebutan Bujangga Manik mirip dengan Pakuan (Cipaku Linggajati), disebut setelah Timbang (Kuningan), tidak di wilayah Rajagaluh. Harap pikiran (imajinasi) kita tidak dikacaukan dulu dengan letak tempat itu berkaitan dengan pembagian wilayah administratif masa sekarang (Pada Beunghar dan Timbang ada di Kabupaten Kuningan, sementara Ujung Berung ada di Kabupaten Majalengka).

Jadi, kalau benar, Rajagaluh tidak dikenal, tetapi Ujung Berung malah dikenali Bujangga Manik. Itu kemungkinan lain ibu kota Kerajaan Rajagaluh, selain Pada Beunghar. Atau, ketika itu (1475-an) Rajagaluh “sudah diislamkan Cirebon,” sementara Pada Beunghar, Ujung Berung, Kuningan, dan juga Talaga, belum. “Sindangkasih” Majalengka juga? Katanya Sindangkasih baru pada tahun 1490 diislamkan, lalu jadi ganti nama Majalengka! Tapi kok tak disebut-sebut?. Talaga, konon, diislamkan tahun 1530-an, jadi wajar jika masih disebut-sebut Bujangga Manik yang “tak peduli” daerah Islam.

Kembali ke Ujung Berung (Hujung Barang). Perhatikan peta Cirebon 1857 yang sudah saya potong khusus “Kawedanan Leuwimoending” ini. Cermati ada desa “Oedjoeng Broeng” persis di bawah huruf A. Di dekatnya agak ke kanan ada desa (tak begitu jelas) “Padabengar.”

Hujung Barang (Ujung Berung) Rajagaluh, Majalengka

Sebutan Ujung Berung sudah saya bahas dalam Bongkok-Ciremay “pages” dalam bahasa Sunda yang bisa mengandung arti “ujung” (kaki gunung) yang ada sesuatu yang penampakannya mengerikan atau menakutkan (bharwang, beruang, bhirawa–gambaran “raksasa” yang seram). Tebakan saya dalam “Bongkok-Ciremay” itu akhirnya terjawab. Ujung Berung itu nama Sunda “aslinya” Hujung Barang, dan “barang” itu dari bahasa Sansekerta “bharwang” (beruang) atau “bhirawa” (sesuatu yang menakutkan).

Pelisanan lain dari barwang itu adalah barang, barong, baron, barung, berung. Yang menggunakannya antara lain Singa Barong, Nusa Barung atau Nusa Barong (Jawa Timur), Tari Barong (Bali), dan Pantai Baron (Gunung Kidul, Yogyakarta).

Lambang Kesultanan Cirebon itu “Singha Barwang,” lengkapnya Singha Barwang Djalalullah, atau Macan Ali. Kata “barwang” itu lazim dilisankan “barang”  dan bisa jadi menjadi bagian dari nama semisal Jatibarang dan Sindangbarang. Mungkin juga nama Centrangbarang (Centangbarang) yang “membunuh” Sunan Talaga Manggung atas suruhan Palembang Gunung. Centangbarang bisa jadi sebenarnya hanya sesebutan saja. Centang” bahasa Sunda artinya membidik untuk memanah atau menembak (sama dengan mengintai untuk membunuh). Jadi, ia orang suruhan yang tugasnya mengintai untuk membunuh, jadi perilakunya seperti “bhirawa” (bharang”) yang membuat ngeri.

Singha Barwang Djalalullah Macan Ali Cirebon

c. Walang Suji “alas” Talaga

Keberadaan Talaga “dikukuhkan” dengan topografi Bujangga Manik. Bujangga Manik (Prabu Jaya Perkasa) jelas-jelas menyebutkan adanya “dayeuh” yang disebut Walang Suji, dan Walang Suji ini berada (menjadi ibu kota) “lurah” Talaga.

Itu ta bukit Caremay, [Itu yang itu Gunung Caremay],
tanggeran na Pada Beunghar, [pertanda adanya Pada Beunghar],
ti kidul alas Kuningan, [(yang) di arah selatannya ada daerah “alas” Kuningan],
ti barat na Walang Suji, [di arah barat– gunung Ceremay–ada Walang Suji],
inya na lurah Talaga. [(kota itu) adanya di daerah “lurah” Talaga].

Jadi, jelas tegas nama Kerajaan Talaga itu Talaga, bukan Talaga Manggung. Kerajaan Talaga disebut Bujangga Manik dengan “lurah” Talaga. Istilah lurah itu ada tiga kemungkinan makna. Pertama, berarti jurang dangkal atau lembah. Kedua, jika berbanding istilah “alas” (contohnya “alas Kuningan”) merupakan daerah yang sebagian besar bukan lagi hutan-rimba (“alas”).  Ketiga, wilayah atau daerah yang diperintah oleh seseorang yang secara umum disebut “lurah” (yang memimpin).

Dengan kata lain, menurut versi Bujangga Manik (Prabu Jaya Pakuan) yang notabene salah seorang pangeran (ningrat) Kerajaan Pajajaran juga, Talaga itu bukan kerajaan, hanya sebuah “kelurahan” dari Kerajaan Pakuan-Pajajaran atau Galuh-Pakuan-Pajajaran. Itu sebabnya ia tidak menyebutnya sebagai kerajaan. Kerajaan yang ada di wilayah Jawa Bagian Barat (sampai perbatasan timurnya Kali Cipamali) hanyalah, ketika itu, Pajajaran (Pakuan-Pajajaran). Dulunya, awal berdiri “kelurahan” Talaga, yang ada di dekatnya Kerajaan Galuh (Kawali).

Dengan sebab itu pula maka tak mungkin Talaga Manggung disebut Prabu (Raja) Talaga, ia hanya bisa disebut sebagai “Tumenggung.” Jadi, wajar jika Raffles selalu menyebutnya dengan “Tumung’gung de Telaga” (Tumenggung Talaga). Jadi, Sunan Talaga Manggung itu tidak mustahil, sebagai “raja” pertama “Kerajaan Talaga” (Katumenggungan dari Kerajaan Pakuan-Pajajaran di Talaga), yang disebut dengan Tumenggung Talaga (Tumung’gung de Talaga,” yang kemudian terbalik menjadi Talaga Tumanggung (Talaga Manggung). Talaga Manggung aslinya bukan “sunan.” Sunan itu sesebutan kemudian setelah pengaruh gelar sunan populer di masyarakat untuk menyebut “susuhunan” alias raja, selain para wali.

STOP!

Senin, 19 September 2011: TUMUNG bahasa Kawi artina mucuk. Bisa mengandung arti (Sunda) PUPUCUK. Jadi, tumung’gung (tumung agung) yang kemudian jadi tumunggung atau tumenggung itu artinya (Sunda) pupucuk nu agung. Pupucuk artinya yang terpuncak, yang tertinggi. Jadi, tumunggung (tumenggung) itu artinya pimpinan paling atas yang agung (the great top leader). Sementara itu, TUMANG artinya tumpang, ganjal, atau tumpuk. Maka jika berbunyi TUMANGGUNG (TUMANG AGUNG —> MANGGUNG) tidak begitu jelas maknanya.

Lalu,  Rajagaluh dan Sindangkasih di mana dalam catatan sejarah? Biarlah itu menjadi bahan penelusuran.***

Baca juga:

[Klik tulisan di baris atas blog ini yang berbunyi “Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik”, lalu klik pilihan tulisan yang muncul dalam “kotak hitam”]:

1. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (1) Talaga, Sindangkasih, Kabupaten Maja

2. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (4) Nama, Agama, dan Historis Pendirian

3. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (5) Ibu Kota Walangsuji, di Mana?

4. Kerajaan Talaga: Melacak Jejak Bujangga Manik (9) Melacak Situs dan Peninggalan

21 thoughts on “KERAJAAN TALAGA: MELACAK JEJAK BUJANGGA MANIK (3) SUMBER SEJARAH

  1. terma kasih Pak kami jd tahu sejarah n betapa pandainya leluhur indonesia. saat ini kami Dan guru spirit kami. membahasnya pcy atw tdk Hal tsb terlihat pleural sya Dan kmi mendapat penjelasan scr gamblang isi Dan hasil. penelitian para. peneliti yg berkompeten. terima kasih Dr kami. Dan guru kami terima kasih

    • Sama-sama, terima kasih juga. Siapa tahu nanti ada yang meneruskan mencari data-cata yang akurat, terpercaya, tepat, sahih. Kan urang Majalengka sudah banyak yang sarjana dan doktor (profesor juga). Sayang ahli sejarah asli Majalengka kita sudah tiada, Prof. Ambari, masih keluarga, tapi ketika itu sama-sama belum mikir sejarah Majalengka, masih mikir PUI aja. Hehehe

  2. Saya tertarik dgn salah satu tokoh. Nyi mas rambutkasih a.k.a rundaykasih (atau rumbay ya?). Karena nama tsb mirip dgn nyai rambutkasih yg berasal dr majalengka. Keduanya apakah sama? Karena disini tdk disebutkan asal-usul beliau. Yg saya tau bhw nyai rambutkasih merupakan permaisuri prabu siliwangi yg melarikan diri ke majalengka, tepatnya daerah sindangkasih. Dan disini klo ga salah sempat dituliskan sekilas mengenai nyi ambet (rambut) kasih namun memerintah di kerajaan beber. Mohon pencerahannya 🙂
    Terima kasih sebelumnya.

  3. Assalamu’alaikum….
    Mohon maaf, kang Tatang, ada yg ingin saya sampaikan berkenaan tulisan di atas. Saya akan kutipkan pernyataan kang Tatang.
    1. “Lurah” bisa mengandung arti pula “jurang yang dangkal, atau lembah.” Jadi, “Lurah Agung” (yang sekarang jadi Luragung) itu sebenarnya bisa berarti “jurang atau lembah yang besar,” tidak harus berarti Bapak Lurah yang Agung.
    2. Noorduyn menyebut yang bisa terlacak sampai sekarang (saat Noorduyn menulis, 1982) hanya Kuningan dan Darma (termasuk Lurah Agung yang sekarang jadi Luragung, yang suka salah sebut jadi Lurahgung).
    Dari dua hal yg saya kutip tersebut, saya hendak bertanya, apakah kang Tatang beranggapan bahwa Luragung itu berasal dari kata Lurah Agung?
    Jika asumsi saya benar bahwa kang Tatang berpikir sekiranya Luragung itu berasal dari kata Lurah Agung, maka saya bermaksud mengkoreksinya.
    Luragung berasal dari kata Luhur Agung, bukan Lurah Agung.
    Ini berdasarkan dari catatan Bujangga Manik. Bahkan dalam tulisan kang Tatang sendiri di atas sudah dicantumkan, yakni pada kalimat:
    – Then he came to Luhur Agung (now: Luragung, sometimes incorrectly called Lurahgung) and crossed the nearby Ci-Singgarung, now: Ci-Sanggarung (11. 78-79; 727-728) [Kemudian ia sampai di Luhur Agung yang sekarang disebut Luragung, yang kadang kala salah sebut menjadi Lurahgung, dan kemudian menyeberangi sungai di dekatnya, yitu Cisanggarung–baris 78-79 dan 727-728].
    Demikian yg ingin saya sampaikan. Terima kasih
    Wassalamu’alaikum

      • Herman Willem Daendels dalam bukunya Staat der Nederlandsche Oostindische bezittingen, juga menuliskannya Loehoeragong, jadi sampai sekitar tahun 1811 – 1813 masih disebutnya Luhuragung, bukan Luragung. Dalam buku itu juga tertulis distrik Sindang Kassie membawahi Sindang Kassie, Soeka Sarie, Paningkierang dan distrik Radja Galoe yang membawahi Radja Galoe, Bongas, Passangrahan,Limoeding dan karang Sambong. Kemudian distrik Talaga yang membawahi Talaga, Singkoep dan Lebakwangie.

  4. Hello there I am so excited I found your web site, I really found you by accident, while I
    was researching on Aol for something else, Nonetheless I am here now andd would just like to say thanks
    for a fantastic post and a alll round enjoyable blog (I also lovve thee theme/design), I don’t have time
    to read it all at the moment bbut I hazve book-marked it and also included yur
    RSS feeds, so when I have time I will be back to read a lot more, Please do keep upp the great b.

  5. akhirnya sejarah akan ditulis sesuai dengan apa keyakian yang dianut. karena Objektifitas akan runtuh karena takut oleh dogma agama.

Leave a comment