MELACAK FILSAFAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN INDONESIA BERBASIS RUMUSAN PANCASILA LEGAL-FORMAL (RENUNGAN AWAL)

— Makalah Penyerta Seminar Ilmu Pendidikan Prodi S3 Ilmu Pendidikan Program Pasca Sarjana UNY, 18 Oktober 2011 —

Tatang M. Amirin

 Mahasiswa Prodi S3 Ilmu Pendidikan Program Pascasarjana UNY

Pendahuluan

Sangat sulit melacak sebenarnya sistem dan proses pendidikan di Indonesia itu berlandaskan filsafat pendidikan, ilmu pendidikan, “ilmu mengajar,” dan juga psikologi pendidikan  yang mana. Di suatu ketika dicoba dihilangkan tradisi “guru mengajar murid belajar” dengan menggunakan label proses belajar-mengajar (PBM), belajar disebut duluan (dari aslinya teaching-learning process). Konotasinya karena ada yang belajar, baru kemudian guru mengajar. Maksud filosofis operasionalnya guru hendaknya mengikuti gaya dan minat belajar murid. Istilah kerennya student centered. Akan tetapi sebutan itu hanya sekedar sebutan, guru di lapangan tidak tahu makna di balik label, dan lebih tidak tahu lagi bagaimana menerapkannya di lapangan.

Sejalan dengan itu, muncul ide baru dengan label student active learning yang salah (kurang pas) diindonesiakan menjadi cara belajar siswa aktif (CBSA) sehingga dipahami sebagai metode mengajar (karena ada istilah “cara”), bukan sebagai model atau pendekatan mengajar. Pendekatan ini pun tidak dipahami maknanya, dan tidak lebih dipahami lagi pelaksanaannya. Akibatnya yang terjadi adalah menjadi diplesetkan “cah bodo soyo akeh (anak yang bodoh bertambah banyak), karena tidak meningkatkan prestasi belajar apapun.

Lebih tampak tambah bodoh lagi ketika anak-anak Indonesia diajari baca tulis bahasa Indonesia dengan pendekatan (model ) SAS (structure-analysis-synthesis), sehingga dikeluhkan anak kelas III saja belum bisa baca. Pendekatan ini berbasis psikologi Gestalt. Gestalt itu dimaksudkan sesuatu sosok yang mempunyai makna. Sebuah lingkaran dikitari delapan buah garis penek-pendek di sekelilingnya akan “terbaca” sebagai matahari, sementara jika garis-garis pendek itu berada di dalam lingkaran memusat ke titik tengah lingkaran akan “terbaca” sebagai roda atau irisan jeruk. Itulah Gestalt, satu kebulatan keseluruhan bentuk yang punya arti atau makna. Belajar sesuatu yang bermakna (meaningful learning) atau terpahami murid itu akan lebih berhasil daripada belajar sesuatu yang tanpa makna (meaningless), yang tidak dimengerti.

Tulisan “dayeuh” yakin tidak ada orang yang tahu maknanya (kecuali tahu bahasa Sunda). Tulisan itu menjadi meaningless (tak bermakna) bagi mereka. Orang Jawa bisa “salah dengar” menjadi “dayoh” (tamu). Maka Dayeuhkolot disalahpahami sebagai tamu tua. Celakanya, “ini ibu budi” diajarkan di mana-mana seolah-olah kata-kata itu punya makna (dipahami anak-anak). Orang Sunda di pedusunan jauh dari kota tidak kenal kata “ibu,” karena yang biasa digunakan ema (bisa juga embi atau mimi). Orang Jawa desa sekali juga tidak kenal kata ibu, kenalnya embok, emak, atau biyung (kadang digabung jadi embok biyung). Tulisan itu jadinya meaningless bagi mereka. Juga kata ini dan budi (orang Sunda asli desa tidak kenal nama menggunakan Budi, itu bukan sebutan nama orang Sunda!). Jadi, rangkaian huruf-huruf itu tak bermakna apapun bagi murid (bukan Gestalt). Anak harus belajar dua hal, jadinya, bahasa Indonesia dan makna kata (gambar huruf). Guru di lapangan akhirnya kembali ke mengeja: n-a –na — n-a–na —– nana.

Pendekatan SAS sebenarnya cocok digunakan untuk mempelajari bahasa Inggris (dan sejenisnya), karena kata-kata Inggris tidak bisa dimulai dari mengeja, lalu membacanya menurut ejaannya.  Bandingkan kata Indonesia  BUKU  (dieja B – U – K – U ) dengan kata Inggris BOOK (dieja B – O – O – K) atau Belanda BOEK (dieja B – O – E – K ). Tampak bahasa Indonesia antara ejaan dan bunyi kata bisa sama, sementara Inggris dan Belanda tidak sama. Apalagi kata KNEE, HIGH, atau SEA (bandingkan dengan kata “Indonesia” (daerah): KENIKIR, HIJI (sunda = satu), dan SEAH (seah sebutan orang Sunda pada suara daun-daun bambu lebat saling bergesekan tertiup angin.)

Kadangkala guru salah juga menjelaskan sesuatu yang berbeda dari budaya murid (tidak kontekstual).  Misalnya 2 x 3 (dua kali/tiga = dua kali, setiap kali tiga = 3 + 3; sama dengan bahasa Inggris two times/three) dilogikakan (sebagai penjumlahan bilangan yang sama beberapa atau sekian kali) menjadi 2 + 2 + 2 yang baru benar jika menggunakan bahasa Jawa (loro/ping telu = dua/tiga kali). Dulu pernah digunakan cara menghitung “himpunan … ditambah himpunan … sama dengan ….” Alangkah susahnya anak-anak memahami sebutan (kata) himpunan (a set of). Kenapa tidak digunakan “himpunan” ala Indonesia: seikat bunga terdiri atas sekian tangkai bunga, sesisir pisang, “setangkep gulo” (Jawa), “saparos” gula (Sunda) dan sebagainya.

Alhasil, kita orang Indonesia suka “mengambil” begitu saja ilmu orang lain tanpa melihat secara kontekstual akar budaya bangsa Indonesia, sehingga menjadi kerap kali tidak pas! Saya tidak tahu pasti apakah konseling Rogerian cocok untuk orang Indonesia yang kalau konsultasi kepada kiyai (sesepuh) pasti minta nasihat untuk dilaksanakan (sami’naa wa atho’naa—dalam tanda petik), bukan malah disuruh memutuskan sendiri dari berbagai alternatif (bisa tambah stress–?!)

Sudah sejak lama sekolah Indonesia menggunakan pendekatan Behaviorisme  yang semua perilaku batiniah atau covert behavior (tahu, paham, melamun, menghayal dsb) “harus” tertampakkan dalam perilaku lahiriah (overt behavior) dan jika menyangkut prestasi belajar harus bisa terukur. Sering ini “terjerembab” ke hapalan fakta dan data, ke pengetahuan (knowledge—yang benar “tahu”), bukan pemahaman (tepatnya “kepahaman,” karena bukan persepsi – pemahaman cenderung berupa persepsi). Dicoba ganti haluan ke konstruktivisme, tapi, seperti umumnya proyek sekali selesai, mati sebelum berkembang.

Lagi-lagi akhirnya pendidikan dan sistem pendidikan Indonesia menjadi tidak punya landasan yang kuat. Belum lagi karena tidak pernah atau sangat jarang sekali menggunakan pendekatan sistem (sistemik, menyeluruh secara serempak). Seringkali hanya parsial, sehingga ibarat menanam kerakap di bebatuan, mati maunya tak hendak, tapi hidup juga lahiriah tak mampu. Ibarat meneteskan air di daun talas, hilang tanpa bekas.

Namun demikian ada pula yang terlampau kelewat mengindonesia, yang apa-apa harus berbunyi berbasis budaya dan karakter Indonesia. Ujung-ujungnya berbasis Pancasila. Padahal sampai sekarang tidak ada yang membuatnya bagai bulan tengah malam kelam, terlihat dari mana-mana dan menerangi segala. Menjadi bulan sabit pun mungkin juga belum, sehingga untuk “dirukyat” saja pun tak tampak (bagaimana mau bersukaria bersukacita ramai-ramai “lebaran” = mendidik dengan baik dan benar?)

Oleh karena itu, mari kita coba meneratas nya kembali, karena sudah sangat lama tidak ada lagi gaungnya!

Pancasila atau Catursila?

Saya ingin memulainya dengan sebuah “kejutan.” Dasar Negara kita itu lima ataukah empat? Ini pernah “iseng” saya tanyakan ke penatar P4. Tapi saya buntuti dengan kata-kata, “Ah, enggak, cuma guyon!”

Rumusan Pancasila legal-formal itu terdapat dalam Pembukaan UUD Negara Indonesia. Saya tidak sebut UUD 1945 karena tidak disebut begitu dalam naskah! Bunyi rumusannya yang lengkap ada di alinea keempat, sebagai berikut (perhatikan yang secara sengaja dicetak tebak).

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perhatikan kata-kata “dengan berdasarkan kepada: …” Di belakangnya ada deretan “dasar Negara Republik Indonesia” sebanyak empat buah, yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam  permusyawaratan/perwakilan. Yang biasa dinyatakan sebagai dasar kelima tertulis dalam kalimat “serta dengan mewujudkan suatu …” Bandingkan dengan sebutan sila-sila yang empat, semuanya kata benda (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan—lalu diakhiri dengan kata “dan” kerakyatan.) Sila kelima bukan kata benda, melainkan kata kerja (“dengan mewujudkan”). Jadi, ini bukan dasar, melainkan tujuan (mewujudkan itu kata-kata tujuan, bukan dasar). Tapi, sudahlah, kita kembali ke sejarah awal perumusannya. Itu sila kelima!

Manusia Indonesia Pancasila (Legal Formal)

Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa saya tidak hendak menganalisis, atau mengomentari, atau mengutip pendapat siapapun tentang manusia Pancsila itu yang seperti apa. Saya hendak memulai sendiri dari rumusan pancasila legal-formal seperti yang tertera dalam Pembukaan UUD NI tersebut. Jadi, bisa sama dengan analisis orang lain, bisa pula berbeda. Saya hendak orisinil. Itu saja. Tentu untuk peristilahan tertentu saya harus merujuk juga pendapat-pendapat tertentu.

Kedua, untuk merumuskan hakekat manusia pancasila (dan nantinya falsafah pendidikan pancasila) itu sudah barang tentu harus “diturunkan” dari rumusan sila-sila Pancasila itu apa adanya. Pancasila, seperti sudah diketahui, merupakan dasar negara, bukan falsafah tentang manusia atau falsafah tentang negara. Oleh karena itulah maka rumusannya merupakan rumusan dasar negara, bukan rumusan falsafah (filsafat). Tentu, dari sudut pandang tertentu, di dalamnya dapat terkandung nilai-nilai filsafat. Sebagai dasar negara tentu Pancasila menjadi mengikat setiap warga negara Indonesia, sehingga jika rumusan “filsafatnya” hanya menyebutkan bahwa orang Indonesia harus berketuhanan yang maha esa, harus berkemanusiaaan yang adil dan beradab dan seterusnya, itu bukan rumusan filosofis. Itu rumusan kewajiban hakiki warga negara Indonesia. Itulah yang saya maksudkan untuk merumuskan filsafatnya kita harus “menurunkannya” dari rumusan legal-formal tersebut.

Manusia Pancasila adalah Makhluk Individu dan Sosial

Rumusan Pancasila itu mengandung nuansa urutan dari terluas ke tersempit. Jelasnya, jika dikaitkan dengan manusia indonesia, manusia indonesia itu merupakan makhluk ciptaan tuhan (bersama alam jagat raya), merupakan bagian dari masyarakat manusia dunia (makhluk manusia—sebagian saja dari isi alam raya), yang berada dan menjadi bagian dari “bangsa Indonesia” (sebagian saja dari makhluk manusia penghuni dunia), yang hidup dalam sistem kenegaraan (menjadi warga satu negara) yang menganut asas kerakyatan, dan yang secara dinamis melakukan sebagian dari hidup kewarganegaraan, yaitu hubungan kemasyarakatan (sosial) yang sejahtera dan mensejahterakan.

Untuk merumuskan manusia pancasila itu saya akan memulainya dari sisi yang terkecil atau tersempit, yaitu manusia Indonesia sebagai makhluk sosial yang diturunkan dari sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini mencerminkan dua substansi, yaitu manusia Indonesia sebagai makhluk individu (seluruh rakyat Indonesia menyiratkan “tiap-tiap orang Indonesia), dan sekaligus manusia Indonesia sebagai makhluk sosial (keadilan sosial itu terkait kehidupan sosial kemasyarakatan).

Unsur rumusan sila kelima yang penting untuk dibahas lebih mendalam adalah makna keadilan sosial (social justice). Keadilan sosial itu dirumuskan sebagai berikut (Wikipedia).

Social justice generally refers to the ideas of creating a society or institution that is based on the principles of equality and solidarity, that understands and values human rights, and that recognizes the dignity of every human being.

Unsur dasar pertama dari rumusan keadilan sosial itu adalah harkat martabat setiap manusia (the dignity of every human being). Ini berkaitan dengan hakekat kemanusiaan individu manusia. Unsur dasar kedua adalah hak asasi manusia (human rights) yang berkaitan dengan hak kodrati individu manusia sesuai hakekatnya (mencakup kewajiban individu terhadap pribadinya) berbanding kewajiban sosialnya. Unsur dasar ketiga dan keempat adalah kesetaraan dan solidaritas yang berkaitan dengan hubungan antar manusia (terkait dengan hak orang lain).

Keadilan sosial kerap disempitkan menjadi kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial (social welfare) terkait dengan kehiduapn kemasyarakatan yang baik (well-being). Kesejahteraan sosial itu dirumuskan BusinessDictionary.com sebagai berikut.

The well-being of the entire society. Social welfare is not the same as standard of living but is more concerned with the quality of life that includes factors such as the quality of the environment (air, soil, water), level of crime, extent of drug abuse, availability of essential social services, as well as religious and spiritual aspects of  life. (Business dictionary.com)

Salah satu harapan dari adanya keadilan sosial adalah terciptanya kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial mencakup tiap-tiap individu. Sejahtera itu, seperti tampak dari rumusan di atas, mencakup kesejahteraan lahiriah dan rohaniah.

Dengan demikian dapatlah dirumuskan bahwa manusia pancasila itu adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai individu (pribadi, persona) makhluk manusia itu mengandung unsur jasmaniah dan rohaniah yang “individed” (tak biss dipisah-pisahkan, menjadi satu kesatuan) sehingga disebut “individu.” Individu manusia itu sendiri tidak bisa berkembang sebagai manusia tanpa terlibat dalam kehidupan sosial. Hanya dengan berkehidupan sosiallah manusia menjadi manusia.

Sebagai makhluk individu manusia memiliki unsur jasmaniah, statis dan dinamis. Unsur statis manusia adalah rangka tubuh dan anggota tubuh serta organ-organ lainnya. Unsur dinamis manusia adalah gerak jasmaniah (psikomotor): bergerak, merangkak, berjalan, berlari, menari, memukul, mengeluarkan air mata, mencerna makanan, dan sebagainya. Unsur rohaniah-kejiwaan manusia (di luar sosok roh), menurut berbagai rumusan, terdiri atas akal-pikiran (kognisi, cipta), perasaan (afeksi, rasa), kemauan, motivasi (konasi, karsa). Oleh karena itulah maka individu manusia (jasmaniah-rohaniah) sering dirumuskan memiliki daya-daya kemampuan rohaniah-jasmaniah yang berupa daya kemampuan kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik.

Di dalam individu (kesatuan jasmaniah-rohaniah) manusia itu tekandung daya-daya kodrati yang lazim disebut dengan potensi. Potensi-potensi tersebut dewasa ini (sebagai “counter” terhadap “kecerdasan intelektual” yang kerap terlampau didewa-dewakan), disebut kecerdasan majemuk (multiple intelligence). Beberapa unsur “kecerdasan” (potensi, talenta) itu pada diri seseorang (individu) ada yang sangat kuat (besar) yang lazim disebut dengan bakat (attitude). Maka, ada yang menyebut seluruh kecerdasan (potensi) itu sebagai faktor G (G-factors; general factors), yang ada pada semua orang, dan bakat disebut sebagai faktor S (S-factors, special factors), yaitu potensi yang menonjol pada bidang tertentu (bakat musik, bakat verbal, bakat logika-matematika dsb.) yang khas pada orang-orang tertentu. Semua orang punya potensi (multiple intelligences) yang sama, tetapi tidak sama dalam hal bakat (attitude).

Manusia indonesia yang pancasilais, dengan demikian, merupakan manusia yang berkembang dengan baik (selaras) unsur-unsur jasmaniah dan rohaniahnya, yang sadar akan keindividuannya, dan senantiasa memelihara kesehatan jasmaniah rohaniahnya, serta mengembangkan secara optimal daya-daya kemampuan jasmaniah dan rohaniahnya (cipta, rasa, karsa, psikomotornya).

Manusia indonesia yang pancasilais juga sadar akan kodrat sosialnya, dan senantiasa memelihara dan mengembangkan hubungan baik dengan sesama manusia Indonesia berdasarkan asas keadilan sosial, yaitu menyadari, mengakui, dan menghargai harkat martabat kemanusiaan setiap manusia dari berbagai latar belakang suku bangsa, ras dan budaya, hak-hak asasi manusia, kesetaraan derajat manusia, dan aktif terlibat dalam upaya mengembangkan solidaritas sosialbagi kesejahteraan seluruh manusia indonesia.

Manusia Pancasila adalah Warganegara Indonesia yang “Philo-sophia”

Sila keempat Pancasila berbunyi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Kerap kali dari sila ini yang diturunkan orang hanya unsur musyawarahnya saja, padahal bukan itu yang utama. Yang utama adalah kerakyatan (sebutan Indonesia untuk demokrasi—kita tahu rakyat atau “people” bahasa Yunaninya “demos”). Jadi, manusia indonesia adalah rakyat Indonesia. Manusia indonesia adalah warga negara Indonesia, warga negara Indonesia yang demokratis, yang berkerakyatan.

Kerakyatan indonesia mengandung nilai luhur keindonesiaan, yaitu “yang dipimpin (dipandu) oleh (berlandaskan) hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Hikmat artinya pengetahuan yang menyeluruh (totalitas) dan yang hakiki, yang benar (the truth, wisdom). Hikmat kebijaksanaan adalah pengetahuan mendalam dan yang benar tentang hakiki kebijaksanaan, kebijaksanaan yang benar, kearifan yang sebenar-benarnya. Demokrasi indonesia adalah demokrasi permusyawaratan yang penuh kearifan, yang berlandaskan kebenaran, bukan permusyawaratan kebatilan. Bermusyawarah yang dilakukan adalah musyawarah untuk kebenaran yang dilakukan secara bijaksana, secara arif, yang “berkeadilan sosial.”

Dalam hal musyawarah secara langsung tidak bisa dilakukan, karena sedemikian banyak warga negara Indonesia, maka kerakyatan itu dapat dilakukan lewat perwakilan warga negara. Warga negara “perwakilan” ini pun merupakan manusia yang berpegang teguh pada hikmat (kebenaran) kebijaksanaan, yang arif-bijaksana dengan sebenar-benarnya, yang berkeadilan sosial.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia Indonesia itu adalah warga negara (rakyat) Indonesia yang suka bermusyawarah secara arif-bijaksana dengan sebenar-benarnya, atau yang mewakilkan dan mewakili dengan arif-bijaksana yang sebenar-benarnya.

Manusia perwakilan rakyat yang dipercaya mewakili itu, dengan kata lain, merupakan orang yang (seharusnya) berpegang teguh pada hikmat (kebenaran) dalam fungsinya mewakili permusyawaratan untuk mewujudkan keadilan sosial, bukan pengkhianatan sosial. Manusia indonesia jadinya adalah manusia yang cinta kebenaran (“philo-sophia”—bukan filosof).

Manusia Pancasila adalah Bangsa Indonesia

Sila ketiga Pancasila bernbunyi persatuan Indonesia. Manusia pancasila itu, dengan demikian, merupakan manusia indonesia yang beraneka ragam (asal-usul dan budayanya). Keanekaragaman itu dipadukan dalam kesadaran akan persatuan (keekaan dalam kebhinnekaan). Manusia pancasila karenanya merupakan manusia yang menyadari, memahami, dan menghargai keanekaragaman warga negara (rakyat) Indonesia, yang dengan keadilan sosial serta hikmat kebijaksanaan (“philo-sophia”) merasa menjadi satu kesatuan kebangsaan, bangsa Indonesia, dan mencintai kebangsaan keindonesiannya itu.

Manusia pancasila dengan demikian adalah manusia yang dalam bahasa populer dewasa ini disebut sebagai manusia multikultural, manusia yang menyadari akan adanya, dan menghargai,  kebhinnekaan warga negara Indonesia, dan yang secara arif bijaksana menjadikannya sebagai modal kebangsaan kenegaraan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Manusia Pancasila adalah Makhluk Manusia yang Adil dan Beradab

Sila  kedua Pancasila berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Dari sila ini dapat diturunkan bahwa manusia Indonesia itu adalah bagian dari makhluk manusia universal penghuni muka bumi ini. Manusia Indonesia tidak ada bedanya dari manusia lain yang ada di muka bumi ini, sama-sama manusia.

Manusia pancasila itu, dengan demikian, adalah manusia yang mengakui dirinya bagian dari umat manusia dan harus menjalin hungan sosial-internasional dengan manusia-manusia warga negara (rakyat) negara lain.

Dalam hubungan kemanusiaan-keduniaan tersebut manusia indonesia merupakan manusia yang adil dan beradab. Adil artinya memperlakukan manusia lain secara proporsional sesuai dengan derajat martabat kodrat kemanusiaan (adil pada diri sendiri dan orang lain). Beradab mengandung banyak arti, antara lain “terdidik”  (Al-Muhsith-online) dan “bernorma-beretika,” kendati lalu keduanya bisa dijadikan kata majemuk menjadi ‘terdidik bermoral.”

Jika dikaitkan dengan sila kelima, maka keadilan di sini mengandung arti sama dengan keadilan sosial, hanya saja ditinggikan derajatnya menjkadi keadilan kemanusiaan (kebangsaan dan sebagainya), sehingga manusia pancasila itu merupakan manusia yang menyadari, mengakui, dan menghargai harkat derajat kemuliaan bangsa-bangsa lain dalam kesetaraan kemanusiaan dan memperlakukannya dengan penuh adab (normatif).

Manusia Pancasila adalah Makhluk Religius

Sila pertama Pancasila berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Diturunkan dari sila ini manusia indonesia sebagai manusia pancasila jadinya dapat dirumuskan sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengakui keberadaan-Nya dan senantiasa tunduk kepada-Nya, yaitu menjalankan perintah-Nya dan menghindari larangan-Nya.

Manusia pancasila dengan demikian mengakui dan menyadari pula akan adanya keberagamaan ketuhanan dan menghargai keberagaman tersebut secara arif bijaksana, adil dan beradab.

Filsafat Pendidikan Pancasila Berbasis Hakekat Pancasila dan Manusia Pancasila

Jika Pancasila hendak dijadikan dasar perumusan Filsafat Pendidikan Pancasila, maka pertama-tama dan terutama rumusan hakekat manusia pancasila harus dijadikan sebagai titik tolak. Pendidikan, menurut umumnya rumusan, adalah upaya mengembangkan segala potensi manusia sesuai dengan kodratnya. Oleh karena berbasis Pancasila, maka dengan sendirinya pendidikan itu merupakan kegiatan yang normatif, yaitu yang berketuhanan yang maha esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan yang berkadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tujuan pendidikan pancasila (pancasilais, berbasis Pancasila) secara singkat adalah menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia pancasila (pancasilais) seperti dirumuskan di atas. Oleh karena manusia pancasila itu mengandung ragam unsur dan fungsi, maka keseluruhan unsur dan fungsi itu harus bisa terkembangkan lewat pendidikan. Itu berarti bahwa keindividuan dan kesosialan manusia indonesia, kewarganegaraan yang berkerakyatan manusia indonesia, kebangsaan manusia Indonesia, kemanusiaan manusia Indonesia, dan ketuhanan manusia Indonesia harus terkembangkan secara serempak dan utuh menyeluruh (holistik).

Persoalan besar yang harus dirumuskan adalah bagaimana mengoperasionalkan filsafat pendidikan serupa itu, terutama berkaitan dengan kurikulum, walau tidak menutup mata bahwa “didaktik”-nya pun harus terumuskan dengan baik. Tugas berat untuk dirumuskan bersama.

 oO0Oo

3 thoughts on “MELACAK FILSAFAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN INDONESIA BERBASIS RUMUSAN PANCASILA LEGAL-FORMAL (RENUNGAN AWAL)

Leave a comment